REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para mantan pegawai KPK yang tergabung dalam IM57+ Institute mengendus kecurigaan atas penetapan Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali sebagai tersangka oleh KPK. IM57+ Institute menduga santernya motif politik di balik kasus ini.
Ketua IM57+ Institute M Praswad Nugraha mengaku sudah memperingatkan sejak awal mengenai kejanggalan pada penanganan kasus Sidoarjo karena berpotensi dipolitisasi. Hal ini menyangkut arah dukungan Gus Muhdlor di Pilpres 2024.
"Pada kenyataannya kekhawatiran kami terbukti dengan penetapan tersangka tepat dilakukan pascapenyelenggaraan pilpres," kata Praswad dalam keterangannya pada Selasa (16/4/2024).
Praswad merasa heran terhadap motif KPK yang baru sekarang menersangkakan Gus Muhdlor. Penetapan tersangka itu dilakukan setelah hasil Pilpres 2024 keluar.
"Ada motif apa penetapan tersangka dilakukan pascapenetapan pemenang pilpres dan menjelang putusan MK? Wajar apabila publik melihat adanya potensi politisasi pada kasus ini," ujar Praswad.
Muncul dugaan, mulanya Gus Muhdlor mendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di Pilpres 2024. Sebab Gus Muhdlor disokong PKB selaku parpol pengusung Anies-Imin.
Tapi Gus Muhdlor tiba-tiba beralih dukungan dengan hadir dalam deklarasi mendukung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di Pondok Pesantren (Ponpes) Bumi Shalawat, Desa Lebo, Sidoarjo, Kamis (1/2/2024). Kehadirannya itu tak jauh dari momentum OTT di Sidoarjo. Dalam OTT itu, Gus Muhdlor lolos alias tak terciduk.
"Tidak heran berbagai pihak mempertanyakan objektifitas penanganan kasus ini," ujar Praswad.
Dalam kasus pemotongan dan penerimaan uang kepada pegawai negeri di lingkungan BPPD Sidoarjo ini, awalnya baru ada dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Keduanya ialah Siska Wati (Kasubag Umum dan Kepegawaian BPPD, Sidoarjo), dan Ari Suyono (Kepala BPPD, Sidoarjo).
Dalam konstruksi perkaranya, bahwa pada tahun 2023, BPPD Sidoarjo memperoleh pendapatan pajak daerah sebesar Rp 1,3 triliun. Atas capaian tersebut, pegawai BPPD seharusnya berhak memperoleh insentif. Akan tetapi, insentif yang seharusnya mereka terima, secara sepihak dipotong, yang dimana disebutkan, pemotongan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Kepala BPPD Sidoarjo, namun lebih dominan diperuntukkan bagi kebutuhan Bupati.
Kasus ini mencuat setelah OTT di Sidoarjo pada Januari 2024. Saat itu, tim KPK menangkap 11 orang yaitu Siska Wati (Kasubag Umum BPPD Pemkab Sidoarjo), Agung Sugiarto, (suami Siska dan juga Kabag Pembangunan Setda Pemkab Sidoarjo), Robith Fuadi yang merupakan kakak ipar Bupati Sidoarjo, Aswin Reza Sumantri selaku asisten pribadi Bupati Sidoarjo.
Kemudian Rizqi Nourma Tanya (Bendahara BPPD Pemkab Sidoarjo), Sintya Nur Afrianti (Bendahara BPPD Pemkab Sidoarjo), Umi Laila (Pimpinan Cabang Bank Jatim), Heri Sumaeko (Bendahara BPPD Pemkab Sidoarjo), Rahma Fitri (Fungsional BPPD Pemkab Sidoarjo) Tholib (Kepala Bidang BPPD Pemkab Sidoarjo), dan Nur Ramadan, anak Siska.
Tapi saat itu yang dijadikan tersangka baru Siska dan Ari saja. Sisanya dilepaskan oleh KPK.
Tercatat, total uang yang dipotong Siska mencapai Rp 2,7 miliar untuk periode 2023 saja. Sedangkan laporan pemotongan yang diterima KPK sudah terjadi sejak 2021. KPK menemukan uang Rp 69,9 juta dari total Rp 2,7 miliar yang dikumpulkan dalam OTT tersebut.
Dari penelusuran KPK, Ari Suryono menyuruh Siska Wati mengalkulasi nominal dana insentif yang diterima para pegawai BPPD. Nantinya dana itu dipotong diduga diperuntukkan bagi kebutuhan Ari dan Gus Muhdlor. Besaran potongan yaitu 10% sampai dengan 30 persen sesuai dengan besaran insentif yang diterima.
KPK menduga Ari Suryono aktif mengatur pemberian potongan dana insentif kepada Muhdlor Ali. Pemberian itu diduga dilakukan lewat orang-orang kepercayaan Muhdlor Ali.