REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – DPR RI tengah menggulirkan pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Langkah itu disinyalir untuk melanggengkan wacana bertambahnya nomenklatur kementerian dalam pemerintahan Prabowo-Gibran guna mengakomodasi partai-partai koalisi di Pilpres 2024.
Hal tersebut pun memunculkan penolakan dari publik. Adanya kemunculan kontra atas revisi UU tersebut adalah karena terkesan semata memenuhi harapan Prabowo untuk menambah jumlah kementerian dari sebanyak 34 menjadi 40 kementerian. Padahal latar belakang revisi itu adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah diketok lama, yakni pada 2011 yang lalu, sehingga dianggap momentum dan by design.
Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan, sebenarnya revisi UU Kementerian Negara pun dalam konteks kelancaran presiden dan wakil presiden dalam membentuk kabinet, itu merupakan hal yang biasa-biasa saja. Artinya, jika Prabowo memang ingin mengakomodasi banyak kalangan dengan cara menambah kementerian, yang dilakukan memang revisi UU karena UU saat ini membatasi jumlah kementerian hanya 34.
Kendati demikian, menurutnya, DPR dan pemerintah juga mesti mendengarkan aspirasi dari masyarakat yang bersuara menolak itu. Sebab, ada beban keuangan negara yang mesti ditanggung lebih besar.
“Dalam konteks itu ya kita harus melihat secara objektif mungkin Prabowo butuh penambahan nomenklatur. Tapi di saat yang sama harus perhatikan keuangan negara dan efisiensi birokrasi dan sebagainya,” tutur Ujang saat dihubungi Republika, Rabu (15/5/2024).
Ujang menegaskan perlunya pembahasan yang lebih mendalam mengenai perlu atau tidaknya penambahan jumlah kementerian ke depan. Dampaknya pada akhirnya juga akan ke publik.
“Efisiensi anggaran perlu didengar dan diperhatikan. Kalau publik keras menolak ya harus dipertimbangkan aspirasinya karena DPR kan wakil rakyat, Prabowo juga terpilih dari rakyat,” kata dia.