Kamis 23 May 2024 11:37 WIB

Mahfud Nilai Wajar Penolakan Penambahan Kementerian

Mahfud memandang sejumlah kementerian sebenarnya lebih cocok digabungkan saja.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Indira Rezkisari
Mahfud MD
Foto: ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko
Mahfud MD

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Mahfud MD, menilai area-area korupsi akan semakin bertambah seiring bertambahnya jumlah kementerian-kementerian di Indonesia. Sebab, Mahfud mengingatkan sekarang saja dengan jumlah 34 kementerian hampir tidak ada kementerian yang tidak memiliki kasus korupsi.

"Hampir semua kementerian itu punya kasus korupsi, sehingga kalau ditambah lagi, bertambah lagi area korupsi karena kementerian itu ada anggarannya, ada pejabatnya," kata Mahfud dalam podcast Terus Terang yang disimak di kanal YouTube Mahfud MD Official pada Kamis (23/5/2024).

Baca Juga

Menkopolhukam periode 2019-2024 menilai kehadiran inspektorat jenderal atau irjen di kementerian-kementerian selama ini terbukti tidak memberikan dampak berarti mencegah korupsi. Tidak terkecuali, lembaga-lembaga yang disebut Badan Pengawas Keuangan (BPK) sudah Wajar Tanpa Pengecualian.

"Itu lembaga-lembaga yang kata BPK sudah WTP, itu justru korupsinya di lembaga-lembaga WTP itu, pemberi WTP-pun sekarang masuk," ujar Mahfud.

Maka itu, Mahfud merasa wajar jika masyarakat sipil mulai banyak menyuarakan penolakan terhadap penambahan jumlah kementerian menjadi 40 maupun revisi UU Kementerian Negara. Walau demikian, Mahfud berpendapat, mungkin hari ini masyarakat sudah tidak bisa berbuat karena sepertinya revisi sudah disetujui.

"Tapi, ini dicatat saja bahwa area korupsi akan semakin banyak karena hampir tidak ada kementerian yang tidak ada korupsinya," kata Mahfud.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2013 itu melihat momentum revisi UU Kementerian Negara turut memancing kecurigaan kalau ini cuma untuk bagi-bagi kue politik sesuai pemenangan kontestasi politik. Apalagi, banyak kementerian-kementerian yang sebenarnya malah bisa dijadikan satu.

Dulu, Mahfud mengingatkan ketika belum ada UU Kementerian Negara pada zaman Presiden Soeharto, ada kementerian-kementerian yang digabung dalam rangka efisiensi. Sesudah reformasi, Mahfud menerangkan memang mulai terbuka kecenderungan untuk membuat kementerian-kementerian baru.

Selain itu, Presiden Gus Dur pernah pula membubarkan Kementerian Sosial maupun Kementerian Penerangan (dulu disebut Departemen Sosial dan Departemen Penerangan). Setelah itu, timbul pemikiran agar kementerian tidak mudah dimekarkan atau dibubarkan, sehingga dibuat Undang-Undang (UU).

"Itu sudah dimaksimalkan. Sekarang, mau jadi 40, saya khawatir nanti Pemilu 2029 karena dukungan juga sudah semakin bervariasi dan semuanya merasa berperan tambah lagi menterinya jadi 45, besok jadi 50 dan seterusnya, tinggal mengubah Undang-Undang," ujar Mahfud.

Mahfud memandang sebenarnya ada kementerian-kementerian yang bisa digabung, lalu diperkuat dirjen-dirjen yang ada. Misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

Selama ini, ia menekankan, banyak persoalan-persoalan agraria yang tidak bisa diselesaikan karena masing-masing menteri memiliki peraturan sendiri. Padahal, Mahfud menilai, lebih mudah jika kementerian-kementerian itu dijadikan satu, diperkuat dirjennya, sehingga lebih mudah mengambil keputusan.

"Itu teorinya mudah karena dalam ilmu agraria itu ada teori, dulu pernah dikembangkan di tahun 80an saat kita ramai-ramai mengalami soal hukum agraria. Agraria itu mencakup tanah benda-benda di bawah tanah, air dan tanah yang ada di bawah air serta udara yang ada di atasnya, itu bisa diatur dalam satu kelompok pengaduan, sekarang dipisah pisah banyak sekali," ucap Mahfud.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement