REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengharamkan praktik-praktik judi. Perbuatan yang mengandung unsur taruhan itu tidak hanya menyebabkan mudarat bagi pelaku, tetapi juga orang-orang terdekatnya dan lingkungan sekitar.
Pada zaman sekarang, judi semakin mudah dijumpai, terutama akibat kecanggihan teknologi. Sebagai contoh, situs-situs di internet yang menyediakan judi daring (online). Bahkan, pemerintah RI sampai-sampai membentuk satuan tugas (satgas) untuk menanggulangi dampaknya.
Umumnya, judi luring maupun daring menampilkan "wajah" sebagai permainan. Karena itu, umat Islam mesti mewaspadai kriteria-kriteria yang bisa menyebabkan haramnya sebuah akad atau permainan.
Berikut ini penjelasan ihwal kriteria-kriteria tersebut, seperti dijelaskan KH Ahmad Sarwat Lc melalui laman Rumah Fiqih.
Adanya dua pihak yang bertaruh
Tidaklah dikatakan judi apabila yang bertaruh hanya satu pihak. Sekurang-kurangnya, mesti ada dua pihak atau lebih yang kemudian melakukan taruhan dalam sebuah akad atau permainan. Dengan demikian, akad atau permainan tadi masuk kategori judi.
Misal, seseorang berkata, "Saya menantang kamu untuk adu panco. Saya menyediakan hadiah Rp 100 ribu jika kamu berhasil mengalahkan saya."
Kemudian, lawan bicaranya itu tidak bertaruh apa-apa. Ketika si lawan kalah, ia tidak perlu kehilangan harta apa pun. Adu panco ini pun tidak termasuk judi. Sebab, yang bertaruh adalah satu pihak saja.
Taruhan berupa harta
Wujud harta bisa bermacam-macam. Ada yang berupa uang. Demikian pula dengan benda-benda bernilai lainnya, seperti emas, perhiasan, jam tangan, rumah, tanah, kendaraan, atau surat-surat berharga. Bahkan, harta juga bisa berupa jasa-jasa yang punya nilai tertentu.
Jika yang dipertaruhkan bukanlah harta, maka akad, permainan, pertaruhan, atau undian tidaklah termasuk judi. Misalnya, undian untuk seseorang mendapatkan shaf yang terdepan saat shalat berjamaah. Itu bukanlah judi.