REPUBLIKA.CO.ID, DUSHANBE – Kebijakan pelarangan jilbab yang diterbitkan pemerintah Tajikistan mengejutkan banyak pihak karena diberlakukan terhadap populasi yang 96 persennya beragama Islam. Kendati demikian, hal ini merupakan cerminan dari garis politik dan kebijakan anti-Islam yang dijalankan pemerintah sejak 1997.
Euronews melansir, setelah pertama kali melarang jilbab di lembaga-lembaga publik, termasuk universitas dan gedung pemerintah, pada 2009, rezim presiden seumur hidup Emomali Rahmon mendorong sejumlah peraturan formal dan informal yang dimaksudkan untuk mencegah negara-negara tetangga memberikan pengaruh Islam.
Meskipun tidak ada batasan hukum mengenai janggut di Tajikistan, beberapa laporan menyatakan bahwa penegak hukum telah mencukur paksa pria yang berjanggut lebat, yang dipandang sebagai tanda potensial dari pandangan agama ekstremis seseorang.
Undang-Undang Tanggung Jawab Orang Tua, yang mulai berlaku pada 2011, memberikan sanksi kepada orang tua yang menyekolahkan anaknya ke pendidikan agama di luar negeri, sedangkan menurut undang-undang yang sama, anak di bawah 18 tahun dilarang memasuki tempat ibadah tanpa izin.
Pernyataan Komite Urusan Agama Tajikistan pada 2017 mengatakan bahwa 1.938 masjid ditutup dalam satu tahunsaja , dan tempat ibadah diubah menjadi kedai teh dan pusat kesehatan.
Selain pelarangan jilbab, dalam regulasi terbaru pemerintah Tajikistan juga awal bulan ini mengeluarkan undang-undang serupa yang berdampak pada beberapa praktik keagamaan. Diantaranya, seperti tradisi berusia berabad-abad yang dikenal di Tajikistan sebagai “iydgardak,” yang mana anak-anak pergi dari rumah ke rumah untuk mengumpulkan angpao pada hari raya Idul Fitri.
Sedangkan lembaga pemantau kebebasan beragama yang berbasis di Oslo, Forum 18, mencatat bahwa semua madrasah alias sekolah agama Islam mulai ditutup paksa sejak Juli 2013 setelah pidato Presiden Rahmon yang menyatakan, tanpa memberikan bukti, bahwa beberapa mantan murid madrasah telah menjadi "teroris". Pada Maret 2015, polisi mulai mencukur paksa pria Muslim berjanggut di seluruh negeri.
Rezim Rahmon juga melarang pelaksanaan banyak ritual dan upacara Islam. Sejak 2017, Undang-Undang Adat memperkenalkan sejumlah pembatasan baru terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan serta hak asasi manusia yang saling terkait, termasuk: pelarangan jamuan makan untuk menghormati jamaah yang kembali dari haji; mengharuskan setiap orang untuk menghormati "pakaian nasional"; melarang perayaan secara adat pada hari ke-3, ke-7, dan ke-40 setelah pemakaman; membuat Komite Negara untuk Urusan Agama dan Peraturan Tradisi, Upacara dan Ritual (SCRA) bertanggung jawab untuk menentukan prosedur apa yang harus diikuti untuk pemakaman dan masa berkabung berikutnya; dan menjadikan pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan seluruh ibadah haji dan umrah ke Mekkah.
Anak-anak di bawah usia 18 tahun juga dilarang ke masjid serta enjalani pendidikan keagamaan. Kitab Undang-undang Hukum Administratif Pasal 474-3 melarang “Pelaksanaan kegiatan pendidikan dan dakwah oleh umat beragama di lembaga pendidikan prasekolah, sekolah menengah, kejuruan dasar, kejuruan menengah, dan pendidikan kejuruan tinggi, serta di bangunan tempat tinggal atau rumah warga” dengan denda yang berat. Hukuman ditingkatkan pada Desember 2021.
Situasi politik... baca halaman selanjutnya