Senin 24 Jun 2024 14:48 WIB

Ada Apa di Balik Larangan Jilbab di Tajikistan yang Mayoritas Muslim?

Politik pasca-Soviet mewarnani larangan jilbab di negara mayoritas Muslim itu.

Red: Fitriyan Zamzami
Seorang wanita berjilbab memanen kapas di ladang dekat desa Yakhak, sekitar 120 km selatan ibu kota Dushanbe, pada 10 Oktober 2013 sebelum pelarangan jilbab.
Foto: X01755
Seorang wanita berjilbab memanen kapas di ladang dekat desa Yakhak, sekitar 120 km selatan ibu kota Dushanbe, pada 10 Oktober 2013 sebelum pelarangan jilbab.

REPUBLIKA.CO.ID, DUSHANBE – Parlemen Tajikistan menyetujui rancangan undang-undang yang melarang hijab akhir pekan lalu meski mayoritas warganya adalah Muslim. Apa dibalik keputusan tersebut?

Kantor berita Asia Plus yang berbasis di Dushanbe melaporkan, kebijakan itu menyusul pembatasan pakaian keagamaan selama bertahun-tahun, yang mana Presiden Emomali Rahmon menyebut hijab sebagai bagian dari "pakaian asing".

Baca Juga

RUU pembatasan penggunaan hijab disahkan pada sidang ke-18 majelis tinggi Parlemen, alias Majlisi Milli. Majelis itu juga melarang "pakaian asing" dan perayaan anak-anak pada dua hari raya Islam yang paling penting—Idul Fitri dan Idul Adha.

Lebih dari sebulan sebelumnya, pada 8 Mei, majelis rendah parlemen negara tersebut, Majlisi Namoyandagon, menyetujui RUU tersebut. Dengan jilbab sebagai pusatnya, RUU ini menargetkan pakaian tradisional Islam.