Kamis 03 Oct 2024 13:02 WIB

Studi CELIOS Ungkap Banyaknya Dampak Negatif Ekspor Pasir Laut

Masyarakat pesisir terancam kehilangan mata pencarian.

Rep: Frederikus Bata/ Red: Satria K Yudha
 Kapal tongkang bernama Queen of The Netherlands yang digunakan untuk mengeruk pasir bawah laut untuk reklamasi Teluk Jakarta beroperasi di perairan Serang, Banten, beberapa tahun lalu.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Kapal tongkang bernama Queen of The Netherlands yang digunakan untuk mengeruk pasir bawah laut untuk reklamasi Teluk Jakarta beroperasi di perairan Serang, Banten, beberapa tahun lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan pemerintah untuk melonggarkan ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Nomor 16 Tahun 2024 langsung memicu badai kritik dari berbagai kalangan. Para akademisi, pegiat lingkungan, dan masyarakat pesisir bersuara. 

Kebijakan ini dinilai akan memicu kehancuran ekosistem laut, meningkatkan erosi pantai, merusak terumbu karang, dan menimbulkan hilangnya biodiversitas laut. Tidak hanya itu, masyarakat pesisir, terutama nelayan, terancam kehilangan mata pencarian akibat rusaknya habitat perikanan tangkap.

Baca Juga

Hasil studi lembaga penelitian ekonomi dan kebijakan publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS), potensi keuntungan bagi negara terbilang kecil, meskipun ekspor pasir laut diharapkan dapat memberi keuntungan bagi para pengusaha dan menyumbang pendapatan negara. Direktur Ekonomi CELIOS Nailul Huda menyampaikan simulasi yang dilakukan menemukan dampak negatif pada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 1,22 triliun, dan pendapatan masyarakat akan menurun hingga Rp 1,21 triliun. 

"Jadi studi ini memberikan respons atas berbagai klaim pemerintah bahwa ekspor pasir laut akan meningkatkan keuntungan ekonomi dan pendapatan negara. Klaim itu ternyata berlebihan," kata Huda dalam keterangan resmi CELIOS.

Ia melanjutkan, pendapatan negara estimasinya hanya bertambah Rp 170 miliar jika menghitung dampak tidak langsung ke sektor lapangan usaha secara keseluruhan. Meski pengusaha ekspor pasir laut mendapat keuntungan sebesar Rp 502 miliar, namun terdapat kerugian yang dialami oleh pengusaha di bidang perikanan.

"Modelling ekonomi yang dilakukan CELIOS memvalidasi bahwa narasi penambangan pasir laut akan mendorong ekspor dan penerimaan negara secara signifikan tidaklah tepat. Penerimaan negara dari pajak tidak mampu menutup kerugian keseluruhan output ekonomi yang berisiko turun Rp 1,13 triliun," ujar Huda.

Studi juga menunjukkan bahwa setiap peningkatan ekspor pasir laut berisiko mengurangi produksi perikanan tangkap. Akibat adanya ekspor pasir laut sejumlah 2,7 juta meter kubik, ada penurunan nilai tambah bruto sektor perikanan yang ditaksir mencapai Rp 1,59 triliun. Pendapatan nelayan yang hilang diperkirakan sebesar Rp 990 miliar dan berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor perikanan sebesar 36.400 orang. 

Penambangan pasir laut menyebabkan degradasi ekosistem laut yang berdampak pada perikanan tangkap. Masyarakat pesisir, terutama nelayan, terancam kehilangan mata pencaharian akibat penurunan hasil tangkapan ikan. "Data historis sebelumnya pada tahun 2001 hingga 2009 ikut menunjukkan korelasi negatif antara peningkatan ekspor pasir laut dan produksi perikanan tangkap," tutur Huda.

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menerangkan ekspor pasir laut justru berisiko menciptakan pengangguran di kawasan pesisir. Model penambangan pasir laut dengan kapal isap dan pengangkutan tongkang juga cenderung padat modal (capital intensive) bukan padat karya (labor intensive). 

"Tidak ada korelasi ekspor pasir laut dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berdaya saing." 

Penambangan pasir laut juga berdampak pada kerusakan habitat laut yang sulit untuk diperbaiki dalam jangka panjang. Indonesia akan kehilangan potensi Blue Carbon dan ekosistem ekonomi biru jika eksploitasi pasir laut dilanjutkan. Padahal diperkirakan Indonesia memiliki potensi 17 persen karbon biru dari total seluruh dunia, setara 3.4 giga ton. 

"Hal ini selaras dengan target pemerintahan kedepan yang ingin mengoptimalkan kredit karbon 65 miliar dolar AS atau Rp 994,5 triliun," ujar Bhima. 

Oleh karena itu, opsi pembangunan pesisir dan kelautan secara berkelanjutan jauh lebih menguntungkan dibandingkan praktik ekspor pasir laut yang merusak ekosistem ekonomi biru. Untuk mengatasi permasalahan ini, CELIOS memberikan rekomendasi, pertama mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 serta aturan turunannya guna melindungi ekosistem pesisir dan kesejahteraan nelayan lokal. Kedua menghentikan seluruh proses penerbitan izin penambangan pasir laut baik untuk domestik dan ekspor.

Ketiga, mendorong potensi ekonomi restoratif di pesisir yang selaras dengan perlindungan lingkungan hidup seperti pengolahan produk perikanan bernilai tambah, budidaya rumput laut, dan ekowisata berbasis pesisir. Keempat, menyusun program restorasi ekosistem laut yang rusak akibat pencemaran air, penebangan hutan mangrove, rusaknya terumbu karang, dan reklamasi pantai.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement