REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan, semua buku, baik cetak maupun digital, dinyatakan bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 5/PMK.010/2020. Namun, terdapat pengecualian untuk buku yang mengandung unsur melanggar hukum.
Cakupan buku melanggar hukum adalah bertentangan dengan Pancasila, SARA, pornografi, dan unsur lainnya. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu Dwi Astuti menyampaikan, ketentuan tersebut bertujuan untuk mendorong akses pendidikan dan literasi yang lebih luas kepada masyarakat.
"Semua buku, termasuk buku pelajaran umum, mendapatkan fasilitas bebas PPN. Namun, buku yang terbukti mengandung unsur negatif seperti yang diatur dalam PMK tersebut tidak akan mendapat pembebasan PPN," ujar Dwi dalam siaran pers di Jakarta, Senin (25/11/2024) malam WIB.
Dwi juga menekankan, pembuktian terhadap kandungan unsur yang melanggar hukum harus melalui putusan pengadilan. "Selama tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa suatu buku mengandung unsur yang bertentangan, maka buku tersebut tetap bebas PPN," jelasnya.
Dengan kebijakan itu, sambung dia, pemerintah berharap masyarakat dapat lebih mudah mengakses buku berkualitas tanpa terbebani oleh PPN. Seiring dengan hal tersebut, menurut Dwi, pengawasan terhadap konten buku tetap menjadi perhatian agar tidak ada konten yang bertentangan dengan nilai-nilai bangsa dan hukum yang berlaku.
Kebijakan bebas PPN ini juga diharapkan dapat mendukung upaya meningkatkan literasi nasional dan memperluas akses informasi kepada seluruh lapisan masyarakat. Dwi juga mengimbau masyarakat untuk bijak dalam memilih buku yang berkualitas dan mendukung pengembangan wawasan, khususnya untuk generasi muda.