REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS – Kejatuhan Bashar al-Assad dimungkinan dengan pergerakan lekas kelompok perlawanan utama Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang dipimpin Abu Muhammad al-Julani. Pria kelahiran Arab Saudi ini diketahui punya hubungan dengan kelompok-kelompok ekstrem di regional.
Di bawah Al-Julani, Hayat Tahrir al-Sham menjadi menjadi kekuatan oposisi bersenjata paling kuat di Suriah. Aljazirah melaporkan, dia terlihat berada di garis depan dan tengah ketika pasukannya berupaya mengkonsolidasikan kendali atas Aleppo dan merebut lebih banyak wilayah di Suriah.
Sebagai pendiri HTS, al-Julani selama hampir satu dekade berusaha memisahkan diri dari kelompok bersenjata lain dan fokus mereka pada operasi transnasional. Ia beralih fokus pada pembentukan “republik Islam” di Suriah.
Sejak 2016, ia telah memposisikan dirinya dan kelompoknya sebagai penjaga yang kredibel bagi Suriah yang terbebas dari Assad, yang secara brutal menindas pemberontakan rakyat selama Arab Spring pada tahun 2011. Konflik kala itu berujung pada perang yang terus berlanjut sejak saat itu.
HTS menjalankan pemerintahan di Idlib melalui Pemerintahan Keselamatan Suriah (Syrian Salvation Government), yang didirikan pada 2017 untuk menyediakan layanan sipil, pendidikan, layanan kesehatan, peradilan dan infrastruktur serta mengelola keuangan dan distribusi bantuan. Namun, HTS juga memerintah dengan keras dan tidak menoleransi perbedaan pendapat, menurut para aktivis, laporan berita, dan pemantau lokal.
Organisasi jurnalisme independen Syria Direct melaporkan bahwa HTS berada di balik hilangnya aktivis dan telah menembakkan peluru tajam ke arah pengunjuk rasa yang menuduh kelompok tersebut menolak memberikan layanan kepada masyarakat yang menentangnya.
Al-Julani dilahirkan dengan nama Ahmed Hussein al-Sharaa pada tahun 1982 di Riyadh, Arab Saudi, tempat ayahnya bekerja sebagai insinyur perminyakan. Keluarga tersebut kembali ke Suriah pada tahun 1989, menetap di dekat Damaskus.
Tidak banyak yang mengetahui pengalamannya di Damaskus sebelum pindah ke Irak pada 2003. Saat itu ia bergabung dengan al-Qaeda di Irak sebagai bagian dari perlawanan terhadap invasi Amerika Serikat pada tahun yang sama.
Ia sempat ditangkap oleh pasukan AS di Irak pada 2006 dan ditahan selama lima tahun. Al-Julani kemudian ditugaskan untuk mendirikan cabang al-Qaeda di Suriah, Front al-Nusra, yang mengembangkan pengaruhnya di wilayah yang dikuasai oposisi, khususnya Idlib.
Al-Julani berkoordinasi pada tahun-tahun awal dengan Abu Bakr al-Baghdadi, kepala “Negara Islam di Irak” al-Qaeda, yang kemudian menjadi ISIS. Pada bulan April 2013, al-Baghdadi tiba-tiba mengumumkan bahwa kelompoknya memutuskan hubungan dengan al-Qaeda dan akan memperluas wilayahnya ke Suriah, yang secara efektif menelan Front al-Nusra menjadi kelompok baru yang disebut ISIS.
Dalam wawancara televisi pertamanya pada 2014, ia mengatakan kepada Aljazirah bahwa Suriah harus diperintah berdasarkan interpretasi kelompoknya terhadap “hukum Islam” dan kelompok minoritas di negara tersebut, seperti Kristen dan Alawi tidak akan diakomodasi.
Pada tahun-tahun berikutnya, al-Julani tampaknya menjauhkan diri dari proyek al-Qaeda untuk mendirikan “kekhalifahan global” di semua negara mayoritas Muslim, dan fokus membangun kelompoknya di dalam perbatasan Suriah.
Menurut para analis, perpecahan tersebut tampaknya merupakan upaya untuk menekankan ambisi kelompoknya yang bersifat nasional, bukan transnasional, terhadap kelompok-kelompok di Idlib.
Pindah ke Idlib...