Kamis 30 Jan 2025 15:15 WIB
100 Hari Pemerintahan Prabowo Gibran

Utak-atik Fiskal 100 Hari Prabowo: PPN Batal Naik, Belanja APBN Dibongkar

Salah satu kebijakan fiskal besar yang akhirnya diubah yakni kebijakan tarif PPN.

Presiden Prabowo Subianto (kiri) berjabat tangan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) usai menyampaikan keterangan pers terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Presiden Prabowo Subianto (kiri) berjabat tangan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) usai menyampaikan keterangan pers terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Eva Rianti, Muhammad Nursyamsi, Ahmad Fikri Noor

Presiden Prabowo Subianto merombak sejumlah strategi fiskal dalam 100 hari pertama pemerintahannya. APBN pertama untuk pemerintahan Prabowo-Gibran dirancang dalam masa transisi dari pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Seiring adanya perubahan kebijakan dan fokus prioritas pemerintahan baru, rancangan fiskal tersebut dimodifikasi.

Baca Juga

APBN 2025 disepakati oleh pemerintah dan DPR pada 19 September 2024, satu bulan sebelum Prabowo dilantik menjadi presiden. Pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 3.005,13 triliun. Sementara, belanja negara sebesar Rp 3.621,31 triliun. Dengan postur demikian, terjadi defisit anggaran sebesar Rp 616,19 triliun. Angka itu setara dengan 2,53 persen terhadap PDB.

Salah satu kebijakan fiskal besar yang akhirnya diubah yakni kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Berdasarkan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), kebijakan tarif PPN semestinya dinaikkan menjadi 12 persen. Akan tetapi, sehari sebelum pergantian tahun 2025, kebijakan itu direvisi sehingga pengenaan PPN 12 persen menjadi sangat terbatas hanya untuk barang mewah yang digunakan kelas menengah atas.

“Hari ini pemerintah memutuskan kenaikan tarif PPN 11 persen jadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah,” kata Prabowo dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (31/12/2024).

“Saya ulangi supaya jelas, kenaikan PPN dari 11 persen jadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah. Yaitu barang dan jasa tertentu yang selama ini terkena PPN barang mewah, yang dikonsumsi oleh golongan masyarakat berada, masyarakat mampu,” tegasnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan penjelasan mengenai sektor yang terkena kebijakan PPN 12 persen, yang mulai diberlakukan per 1 Januari 2025. Ia mengungkapkan PPN 12 persen hanya diberlakukan bagi barang mewah, yang masuk dalam Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).

“PPN yang naik ke 12 persen hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah yang selama ini sudah terkena PPnBM, kategorinya sangat sedikit atau limited,” kata Sri Mulyani.

photo
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan keterangan pers terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (31/12/2024). - (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Kebijakan ini dinilai memberikan angin segar kepada perekonomian yang tengah menghadapi tantangan pelemahan daya beli. “Pembatalan penerapan PPN 12 persen secara umum patut diapresiasi di tengah rendahnya daya beli masyarakat, PHK besar-besaran di industri padat karya, dan kondisi deflasi,” ujar Senior Fellow CIPS, Krisna Gupta dalam keterangan, Ahad (5/1/2025).

Ia menekankan, negara dengan target pertumbuhan ekonomi tinggi biasanya lebih memilih ekspansi fiskal dengan memotong pajak daripada meningkatkannya. Meskipun kenaikan tarif PPN menjadi salah satu strategi pemerintah sejak 2019, dampaknya terhadap penerimaan negara belum signifikan. Krisna menjelaskan, meskipun tarif PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022, kontribusinya terhadap PDB masih stagnan di angka sekitar 3,5 persen.

“Peningkatan tarif pajak memang secara teori dapat menekan aktivitas ekonomi, sehingga meskipun tarif naik, penerimaan belum tentu ikut meningkat,” jelasnya.

Kendati demikian, hal ini juga berdampak pada sektor penerimaan pajak. Dalam APBN 2025, penerimaan pajak ditargetkan mencapai Rp 2.189,3 triliun. Angka itu tumbuh 10,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara, kontribusi PPN dan PPnBM mencapai 43,2 persen. Sehingga, dampaknya relatif signifikan dalam penerimaan negara.

Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, kebijakan PPN tersebut tidak akan signifikan dalam menggenjot penerimaan negara. Meskipun, ia mengakui kebijakan ini dapat memberikan dampak positif pada ekonomi domestik terutama lewat konsumsi rumah tangga yang terjaga.

Bhima justru menekankan pentingnya kebijakan pemerintah untuk terus menggenjot penerimaan pajak dengan mencari sumber baru, selain mengandalkan PPN. Ia pun memberikan beberapa rekomendasi strategi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah untuk memperluas basis penerimaan negara. Pertama, pemerintah dapat mulai merancang pajak kekayaan yang dikenakan pada orang-orang super kaya, dengan estimasi penerimaan sebesar Rp 81,6 triliun.

"Pajak ini belum diterapkan di Indonesia, padahal OECD dan G20 sudah mendorong pajak kekayaan,” ujar Bhima.

Selain itu, ia juga menyarankan penerapan pajak karbon yang bisa berjalan tahun ini, dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait pajak karbon untuk sektor industri seperti PLTU batu bara. “Pajak karbon ini tidak hanya baik untuk lingkungan, tetapi juga dapat mendukung transisi ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan,” tambahnya.

Selain itu, Bhima mengusulkan agar pajak produksi batubara yang lebih tinggi diterapkan, serta untuk menutup kebocoran pajak di sektor sawit dan tambang yang masih terjadi. Ia juga meminta pemerintah untuk mengevaluasi insentif pajak yang tidak tepat sasaran, seperti pemberian tax holiday kepada perusahaan smelter nikel yang saat ini mencatatkan laba besar.

“Dengan menerapkan kebijakan-kebijakan ini, kita dapat memperkuat sistem perpajakan di Indonesia dan memastikan keadilan fiskal yang lebih baik,” harap Bhima.

 

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement