REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menyoroti pentingnya pendaftaran merek di Indonesia. Hal ini guna menanggapi kasus merek Arc’teryx yang diduga dibajak oleh perusahaan asal Tiongkok.
Merek Arc’teryx, yang berasal dari Kanada, tidak terdaftar di Indonesia. Sehingga merek itu tidak memperoleh pelindungan hukum di Indonesia.
“Prinsip pelindungan merek adalah teritorial dan first to file. Karena perusahaan asal Kanada tidak mendaftarkan mereknya di Indonesia, maka perusahaan asal Tiongkok yang lebih dahulu mengajukan pendaftaran pada tahun 2019 berhak atas merek tersebut di Indonesia,” kata Direktur Merek dan Indikasi Geografis DJKI, Hermansyah Siregar dalam keterangan pers, Selasa (25/2/2025).
Mekanisme yang tersedia di Indonesia untuk mencegah pendaftaran merek oleh pihak yang tidak berhak adalah melalui prosedur keberatan yang dapat diajukan oleh pihak berkepentingan selama masa publikasi. Namun, dalam kasus Arc’teryx, tidak ada pihak yang mengajukan keberatan saat pendaftaran berlangsung.
Saat ini, Arc’teryx pusat (Kanada) tidak dapat lagi mengajukan keberatan karena masa publikasi telah berakhir. Namun, perusahaan masih memiliki opsi hukum untuk mengajukan gugatan pembatalan merek di Pengadilan Niaga.
"Hingga saat ini, DJKI belum menerima keberatan atau aduan resmi dari pihak Arc’teryx terkait kepemilikan merek tersebut di Indonesia.
Hermansyah menekankan Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis telah mengatur mekanisme pendaftaran dan penyelesaian sengketa merek.
"Sehingga langkah-langkah yang diambil harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” lanjut Hermansyah.