Kamis 13 Aug 2020 16:31 WIB

SKB 4 Menteri Tegaskan Sekolah Tatap Muka Dibuka Bertahap

Satuan pendidikan di zona kuning dan hijau boleh belajar tatap muka secara bertahap

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Gita Amanda
Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang terlalu lama bisa berdampak negatif pada siswa.
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang terlalu lama bisa berdampak negatif pada siswa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri Tentang Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi sudah mulai dilakukan di daerah-daerah. Di dalam SKB tersebut, ditegaskan bahwa satuan pendidikan di zona kuning dan hijau berdasarkan Satgas Penanganan Covid-19, boleh melakukan pembelajaran tatap muka secara bertahap.

SKB tersebut menegaskan, sekolah boleh tatap muka jika pemerintah daerah sudah memberi izin melalui dinas pendidikan provinsi atau kabupaten/kota. Selain itu, izin untuk satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama harus mendapatkan izin dari kantor wilayah setempat yang juga berkoordinasi dengan Satgas Covid-19 daerah.

Baca Juga

"Berdasarkan persetujuan satuan tugas percepatan penanganan Covid-19 setempat," tulis salah satu poin di dalam SKB tersebut, dikutip dari siaran pers Kemendikbud, Kamis (13/8).

SKB 4 Menteri ini merupakan revisi dari SKB sebelumnya tentang penyelenggaraan pembelajaran selama masa pandemi. Di dalam SKB sebelum revisi, dituliskan hanya sekolah di zona hijau yang boleh dibuka dengan izin dari pemerintah daerah. Namun, di dalam SKB revisi ini sekolah di zona kuning juga diizinkan dibuka.

Salah satu alasan penambahan zona kuning ini yaitu karena pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang terlalu lama bisa berdampak negatif pada siswa. Hal itu disebutkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim dalam sebuah telekonferensi, pada 7 Agustus 2020 lalu.

Menurutnya, ada tiga dampak utama jika PJJ terlalu lama dilakukan. Pertama adalah ancaman putus sekolah karena kondisi PJJ tidak optimal, seperti jaringan internet yang tidak baik, atau tidak memiliki gawai untuk belajar.

"Juga kemungkinan beberapa persepsi orang tua juga berubah mengenai peran sekolah dalam proses pembelajaran yang tidak optimal, sehingga ancaman putus sekolah ini sesuatu yang riil," kata Nadiem.

Risiko kedua adalah penurunan capaian pelajar disebabkan PJJ yang tidak optimal. Sebab, selama PJJ muncul kesenjangan kualitas antara anak yang memiliki akses teknologi dan yang tidak.

Tidak optimalnya PJJ ini berisiko munculnya lost generation di masa yang akan datang. "Dimana akan berdampak permanen terhadap generasi kita," kata Nadiem menambahkan.

Riset ini tidak hanya berlaku di Indonesia, namun terjadi di seluruh dunia. Itulah yang melatarbelakangi pemerintah untuk memperluas pembelajaran tatap muka. Namun, semuanya harus tetap sesuai aturan dan berada dalam protokol kesehatan yang ketat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement