Selasa 02 Nov 2021 12:00 WIB

MA Cabut PP Pengetatan Remisi Koruptor

Pemidanaan berdasarkan putusan hakim dan tak boleh ada hukuman tambahan di luar itu. 

Red: Agus Yulianto
Warga binaan melakukan sujud syukur usai menerima surat remisi Kemerdekaan RI di Lapas Kelas IIA Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa (17/8/2021). Pada peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-76 Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM memberikan remisi terhadap 134.430 narapidana dan anak yang tersebar di seluruh Indonesia.
Foto: ANTARA/Makna Zaezar
Warga binaan melakukan sujud syukur usai menerima surat remisi Kemerdekaan RI di Lapas Kelas IIA Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa (17/8/2021). Pada peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-76 Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM memberikan remisi terhadap 134.430 narapidana dan anak yang tersebar di seluruh Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rizkyan Adiyudha

 

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengaku mendukung putusan Mahkamah Agung (MA) terkait pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 99 tahun 2012. PP tersebut mengatur tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, pemidanaan harus berdasarkan putusan hakim dan tidak boleh ada hukuman tambahan di luar itu. Artinya, sambung dia, apabila ada penghapusan hak narapidana, maka hal itu sebaiknya menjadi bagian dari putusan hakim.

"Penghuni terbesar lapas adalah terpidana narkoba, sebagian merupakan pemakai. Kalau disyaratkan sebagai justice collaborator (JC), maka hal itu akan memberatkan mereka karena narkoba jaringan tertutup dan melibatkan mafia, termasuk oknum," kata Edwin dalam keterangan, Senin (1/11).

Dia mengatakan, penghuni penjara di Indonesia saat ini sudah melebihi kapasitas alias //overcrowded//. Dia melanjutkan, khusus bagi JC, Pasal 10A Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur mengenai penanganan khusus dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.

"Pembebasan bersyarat, remisi tambahan dan hak narapidana lain merupakan bentuk penghargaan bagi JC atas kesaksian yang mereka berikan," katanya.

Edwin mengatakan, dalam praktiknya PP nomor 99 Tahun 2012 menghambat implementasi pemenuhan hak narapidana seperti diatur dalam Pasal 10A UU Perlindungan Saksi dan Korban. Dia mengungkapkan, terjadi penyimpangan atau kolusi antara terpidana dengan oknum aparat untuk mendapatkan status JC agar narapidana bisa mendapatkan haknya.

Dia mengatakan, hal yang anehnya yakni bila pelaku tunggal juga bisa diterbitkan status JC. Lagi pula, sambung dia, pengalaman LPSK mengungkapkan kalau sebagian kepala lapas lebih merujuk PP ini dibandingkan Pasal 10A yang juga mengatur hak-hak narapidana bagi JC.

Saat ini Kemenkumham juga tengah menyusun peraturan turunan dari Pasal 10A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Dengan demikian, kata dia, pencabutan PP nomor 99 Tahun 2012 sejalan dengan penyusuan peraturan perundang-undangan yang sedang disusun Kemenkumham.

Menurutnya, pemerintah tidak perlu ragu untuk melaksanakan putusan MA tersebut. Dia mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya terhadap judicial review terhadap Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang diajukan terpidana kasus korupsi OC Kaligis pada September lalu juga berpendapat senada.

Dia mengatakan, MK menegaskan semua terpidana yang sedang menjalani masa pemidanaan di lapas, berhak mendapatkan remisi sebagaimana dijamin UU Pemasyarakatan. Namun, dia melanjutkan, karena tidak berwenang mengadili PP, MK tidak mencabut PP nomor 99 Tahun 2012.

 

photo
Sejumlah aktivis menolak remisi untuk koruptor dan bandar narkoba (ilustrasi). - (Antara/Akbar Nugroho Gumay)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement