Rabu 27 May 2020 16:49 WIB

Isu Pajak di Tengah Polemik Kenaikan BPJS Kesehatan

Kenaikan iuran peserta dinilai bukan solusi atas permasalahan defisit BPJS Kesehatan.

Red: Karta Raharja Ucu
Petugas keamanan berjaga di depan kantor BPJS Kesehatan.
Foto:

Satu hal lagi yang penting untuk disoroti adalah aspek pajak dalam penerapan JKN. Selama ini, iuran BPJS Kesehatan karyawan —yang 4 persennya ditanggung pemberi kerja atau perusahaan— dianggap sebagai penghasilan karyawan sehingga dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Alasan iuran BPJS Kesehatan dikenakan pajak adalah karena iuran JKN tersebut dipersamakan dengan premi asuransi kesehatan pada umumnya. Alhasil, perusahaan tidak hanya harus menanggung 4 persen iuran BPJS karyawan, tetapi juga wajib menyetorkan PPh 21 atas iuran JKN tersebut.

Dalam konteks ini, kita perlu menelaah kembali semangat positif dari program JKN yang sifatnya memaksa atau mewajibkan seluruh pemberi kerja menanggung empat persen iuran BPJS Kesehatan setiap karyawannya. Dalam perspektif penulis, seharusnya ini bisa dilihat sebagai konstribusi perusahaan terhadap negara guna menyukseskan program JKN. Bukan transaksi Business to business antara perusahaan dengan BPJS Kesehatan. Dengan kata lain, iuran BPJS yang dibayarkan perusahaan jangan dimaknai sebagai premi asuransi, melainkan sebagai kontribusi perusahaan kepada negara dalam rangka ikut menjamin ketersediaan jaminan kesehatan bagi setiap warga negara.

Kepatuhan perusahaan membayar iuran JKN karyawan seharusnya menjadi nilai plus di tengah isu diskriminasi pelayanan kesehatan serta kegagalan BPJS Kesehatan menindak kecurangan pelaksanaan JKN, seperti yang dinyatakan Mahkamah Agung. Kalau semangat partisipatif dan kontributif yang dikedepankan, apakah patut iuran JKN dikenakan PPh pasal 21? Seharusnya tidak.

PENGIRIM: Karsino, Direktur MUC Tax Research Institute

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement