Rabu 07 Oct 2020 13:13 WIB

Omnibus Law: Rasanya Salah Sasaran dan Kurang Lengkap?

Omnibus Law terancam gagal karena birokrasinya masih corruption friendly.

Massa dari serikat buruh melakukan konvoi dalam aksi mogok kerja nasional di kawasan Industri Pulogadung, Jakarta, Selasa (6/10). Aksi mogok kerja tersebut berlangsung mulai tanggal 6-8 Oktober 2020 sebagai bentuk penolakan terhadap pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja yang dinilai akan berdampak pada lingkungan dan pekerja. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa dari serikat buruh melakukan konvoi dalam aksi mogok kerja nasional di kawasan Industri Pulogadung, Jakarta, Selasa (6/10). Aksi mogok kerja tersebut berlangsung mulai tanggal 6-8 Oktober 2020 sebagai bentuk penolakan terhadap pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja yang dinilai akan berdampak pada lingkungan dan pekerja. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan RI

Berbagai macam “terobosan” yang sudah diluncurkan Pemerintah dan DPR selama ini terbukti tidak efektip meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi secara meroket. Boro boro meroket, mempertahankan prestasi yang lama atau standar saja tidak mampu.

Enam belas Paket Kebijakan Ekonomi yang diluncurkan Pemerintah Jokowi pada kabinet lalu, insentif perpajakan, pembangunan masif infrastruktur, reorganisasi dilingkungan birokrasi, pemberian berbagai  insentip dan kredit murah, dan lainnya ternyata gagal meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Kini, saya kira Omnibus Law yang baru saja di setujui dan disahkan Pemerintah dan DPR akan mengalami nasib serupa yaitu gagal meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi seperti yang diargumentasikan selama ini. Mengapa demikian? Karena problem utamanya tidak tersentuh. Apa itu? Korupsi dan birokrasi pemerintahan yang tidak efisien, tidak efektif, yang menyebabkan high cost economy remains there.

Alhasil, saya yakin ke depan kita tetap akan kalah bersaing dengan negara lain. Karena nampaknya belum ada political will untuk mengatasi yang namanya penyakit korupsi, serba tidak efisien dan tidak efektif, maka penyelenggara negara tentu akan mencari kambing hitam lain sebagai sasaran penggantinya.

Sayangnya, sasaran penggantinya itu bukan saja sia sia dan gagal, tetapi sebetulnya menyimpan bom waktu dan semakin memberatkan ekonomi Indonesia termasuk keuangan negara. 

Memang tidak mudah bagi para pemangku kepentingan untuk mengatasi penyakit utamanya (korupsi dan lainnya itu) sebab itu berarti memerangi diri sendiri atau menampar muka sendiri. Apalagi kita tahu bahwa sistem politik di Indonesia memang mahal dan serba duit. Untuk menjadi penyelenggara negara perlu uang yang mahal, mahal sekali.

Jadi korupsi harus “di pelihara dan dijaga” demi kelangsungan sistem politik. Lama-lama menjadi kebiasaan dan serasa sudah menjadi kewajaran yang bisa di maklumi. Bagi mereka yang sebenarnya bukan penyelenggara negara, tentu akan terseret ikut ikutan korupsi untuk memperkaya diri. Aji mumpung. 

Kita semua seharusnya menyadari bahwa tidak ada negara yang sukses selama penyelenggara negara dan policynya serta birokrasinya masih corruption friendly.  Alhamdulillah bumi Indonesia ini kaya raya dan rakyatnya sabar “penuh pengertian”, sehingga bisa lama bertahan dengan keadaan kehidupan ekonomi yang serba berat, tapi tetap saja ada batasnya.

Waktulah yang akan membuktikan apakah tesis di atas benar atau salah. Meski saya yakin dengan tesis ini, tapi sejujurnya saya berharap salah.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement