REPUBLIKA.CO.ID, Olehl: Rudi Agung (Pemerhati masalah sosial dan keagamaan)
Kang Budi dan Kang Badrun dari tanah Jawa. Sejak kecil keduanya akrab. Sama-sama kere, sama-sama satu pondok. Keduanya fasih berbahasa Arab. Sejak usia 20-an, mereka mengajar ngaji anak-anak di kampungnya. Tapi seiring waktu, berbeda nasib. Kang Budi tetap sederhana. Kang Badrun kaya raya.
Kang Budi dakwah keliling. Dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung. Tanpa undangan, tanpa menanti uang bayaran. Kadang, dakwah dari satu kota ke kota lain. Itu kalau ia punya uang lebih untuk bensinnya. Nah, nasibnya beda dengan Kang Badrun. Sejak muncul di televisi, gayanya lebih trendi. Rumahnya tingkat, mobilnya anti karat, sopirnya tetangga pak camat.
Lebaran kemarin, Kang Budi dan Kang Badrun sama-sama mudik ke kampung halamannya. Sudah lima tahun tidak bersapa. Saat berjumpa tak lagi terlihat kedekatan di antara mereka. Bicara dan tertawa, kering sekali kelihatannya. Entah apa sebabnya. Mungkin beda prinsip. Bukan karena beda nasib.
Kang Budi maunya berdakwah mendatangi, sesuai dakwah Rasulullah. Senang sekali datang menyentuh lapisan bawah. Merangkul dan mendatangi kaum papa. Lain hal dengan Kang Badrun. Dengan bicara di televisi, dakwahnya bisa menyentuh semua lapisan. Tanpa harus datang dan melayani. Hanya menunggu jadwal dan menyiapkan materi. Soal pakaian dan gaya hidup, Kang Badrun berdalih, itu tuntutan.
Kang Badrun akrab dengan panggung politik. Sering sekali datang ke Meditariana, konsulat, atau tempat tongkrongan lain. Mengikuti arus aktivis dan politisi. Tentu saja, gaya hidupnya perlu mengikuti mereka. Kongkow-kongkow tertawa ha ha ha ha. Sembari menanti instruksi agenda setting berikutnya. Lalu, angguk-angguk kepala.
Lain dengan Kang Budi. Kendati fokus dakwah di lapis bawah, namun, ia juga akrab dengan politisi dan sejumlah petinggi negara. Dari aparat hukum sampai lingkar istana. Tapi Kang Budi tidak mau terikat dengan mereka. Ia takut terjebak buaian dunia. Tak mau diremot. Hubungan kepada mereka sebatas hablum minannaas saja.