REPUBLIKA.CO.ID,SANAA--Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh hari Jumat berjanji tetap berkuasa dan membela rakyatnya "dengan segala cara", setelah AS mendesaknya menyetujui rencana peralihan kekuasaan "sekarang" dan mengakhiri kekerasan politik berbulan-bulan. "Kita akan membela diri dengan segala kekuatan kita dan dengan segala cara," katanya kepada sejumlah besar pendukungnya di Sanaa, ibu kota Yaman, dimana puluhan ribu aktivis oposisi juga berpawai menuntut pengunduran dirinya segera.
Saleh tidak menyebut langsung AS, namun pernyataannya itu disampaikan sehari setelah Washington, yang telah lama mendukung pemerintahnya, memintanya menandatangani "sekarang" sebuah rencana transisi yang ditengahi negara-negara Teluk yang mengharuskannya melepaskan kekuasaan dalam waktu sebulan. "Kita tidak akan tetap pasif menghadapi pelanggar hukum," kata Saleh, yang memperingatkan oposisi agar "berhenti bermain-main api".
Loyalis membawa foto besar Saleh, yang berkuasa di Sanaa sejak 1978. "Rakyat ingin Saleh. Rakyat ingin Saleh," teriak pendukungnya. Spanduk-spanduk bertuliskan "Tentara bersama anda."
Pernyatan Saleh itu disampaikan ketika gerilyawan yang diduga anggota Al-Qaeda menyerang kendaraan militer dan membunuh lima prajurit di provinsi Marib, sebelah timur Sanaa, kata seorang pejabat keamanan.
Di Sanaa, pasukan keamanan berjaga-jaga untuk mengamankan demonstrasi tandingan menentang saleh, kata beberapa saksi, dengan menambahkan bahwa tidak ada laporan mengenai bentrokan.
Demonstrasi di Yaman sejak akhir Januari yang menuntut pengunduran diri Saleh telah menewaskan sekitar 175 orang.
Oposisi Yaman mendesak Saleh mengakhiri kekuasaan tiga dasawarsanya dan menyerahkan wewenang kepada deputinya untuk periode peralihan, namun usulan itu ditolak oleh pemimpin kawakan tersebut. Dengan jumlah kematian yang terus meningkat, Saleh, sekutu lama Washington dalam perang melawan Al-Qaeda, tampaknya kehilangan dukungan AS.
Pemerintah AS mengambil bagian dalam upaya-upaya untuk merundingkan pengunduran diri Saleh dan penyerahan kekuasaan sementara, menurut sebuah laporan di New York Times. Para pejabat AS menganggap posisi Saleh tidak bisa lagi dipertahankan karena protes yang meluas dan ia harus meninggalkan kursi presiden, kata laporan itu.
Meski demikian, Washington memperingatkan bahwa jatuhnya Saleh selaku sekutu utama AS dalam perang melawan Al-Qaeda akan menimbulkan "ancaman nyata" bagi AS. Yaman adalah negara leluhur pemimpin Al-Qaeda Usamah bin Ladin dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.
Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.
Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP). Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaeda memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.
Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaeda AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal. AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.
Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaeda. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia. Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini.