REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Jaksa Agung Darmono mengatakan, pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kejaksaan Agung bisa berkedudukan sebagai pengacara negara dalam kasus gugatan sembilan korban tragedi Rawagede.
Artinya, kejaksaan bisa mewakili, baik dalam perkara perdata ataupun tata usaha negara apabila dilakukan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. "Posisi kejaksaan bisa jadi pengacara negara dalam kasus Rawagede," jelas Darmono kepada Republika, Selasa (20/9).
Sayangnya, untuk kasus persidangan Rawagede di Deen Haag Belanda tersebut karena subyek hukumnya (penggugatnya) bukan pejabat negara atau pemerintah, tapi bersifat perorangan. Karena itu, kejaksaan dalam tidak bisa ikut campur tangan terkait persoalan itu, sebab bukan domainnya.
"Kalau toh campur tangan, sebaiknya dan seharusnya dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri kaitannya dengan hubungan diplomatik antar Pemerintah RI dengan pemerintah Belanda," ujar Darmono.
Pengadilan Sipil Den Haag di Belanda, Rabu (14/9), memerintahkan pemerintah Negeri Kincir Angin tersebut membayar ganti rugi yang menurut kabar sekitar Rp 10 miliar kepada sembilan janda korban peristiwa Rawagede, yaitu pembantaian tentara Belanda semasa perang kemerdekaan RI pada 1947. Dalam peristiwa pembantaian Rawagede tercatat 431 laki-laki terbunuh akibat kekejian tentara Belanda.
Ini pertama kalinya pengadilan memutuskan Pemerintah Belanda bersalah dalam peristiwa yang terjadi di sebuah wilayah di Jawa Barat, 64 tahun silam itu.
?Keadilan telah ditegakkan. Ini artinya negara tak lagi bisa diam membisu selama 60 tahun, menunggu kasus ini hilang dengan sendirinya, atau menunggu para penuntut meninggal dunia,? tutur pengacara para penuntut Liesbeth Zegveld.