REPUBLIKA.CO.ID, MESUJI – Gunawan (31), warga Desa Budiaji, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, menilai konflik dua perusahaan yang berada di dekat tempat tinggalnya memiliki akar masalah berbeda. Dua perusahaan itu adalah PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dan PT Silva Inhutani (SI).
Menurut Gunawan, konflik yang dihadapi PT BSMI karena pihak perusahaan menyerobot tanah warga yang menjadi plasma kelapa sawit. Ribuan warga Desa Sri Tanjung, Keagungan, dan Nipah Kuning, yang merasa tertipu perusahaan melakukan penyerangan terhadap kamp dan kantor PT BSMI.
Adapun, kasus PT SI diakibatkan ada pendatang yang sebenarnya perambah hutan, tapi mengaku sebagai warga adat yang tanahnya direbut perusahaan. Namun, PT SI bersikeras dan memiliki bukti kalau mengelola lahan di area yang sah, yakni Register 45.
Warga yang telah mendirikan pemukiman lokal di dalam Register 45, melakukan perlawanan ketika rumahnya dihancurkan oleh petugas keamanan PT SI dibantu aparat Brimob. “Kalau dicari siapa yang benar, semuanya benar. Kalau dicari siapa yang salah, maka semuanya salah,” kata Gunawan, Rabu (21/12).
Dijelaskan Gunawan, PT BSMI yang memiliki lahan inti 10 ribu hektare (ha), mempunyai lahan plasma hasil program kemitraan dengan warga sekitar yang mencapai 7.000 ha. Belakangan muncul kabar kalau perusahaan sudah 17 tahun tidak membayar bagi hasil lahan plasma. Gunawan mengaku mendengar kalau banyak warga tiga desa itu ditipu oknum PT BSMI.
Kalau sebelumnya lahan plasma itu milik negara dan masyarakat setempat diberi kewenangan mengelola. Pada perkembangannya, lanjut Gunawan, masyarakat didorong oknum perusahaan untuk membuat sertifikat tanah kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Lampung. Yang membuatnya heran, BPN mengeluarkan sertifikat tanah itu dan dijadikan jaminan oleh warga setelah mendapat bantuan uang dalam jumlah tertentu dari PT BSMI.
Ketika PT BSMI tidak lagi memberi uang yang dikamuflasekan sebagai dana bagi hasil dengan alasan harga tanah sudah dibeli semua oleh perusahaan. Ribuan warga setempat marah dan menuntut perusahaan. “Akhirnya terjadilah ketegangan di antara keduanya. Pada akhirnya keduanya saling serang,” ujar Gunawan.
Pada 10 November 2011, setelah Brimob yang ditugaskan PT BSMI menjaga keamanan kamp dan kantor perusahaan melakukan penembakan kepada warga Sri Tanjung. Warga meresponnya dengan menyerbu area perusahaan dan membakar kantor itu. “Hingga kini PT BSMI tak lagi beroperasi, dan warga yang selama ini tertipu terus mengambil kepala sawit di area perusahaan. Brimob tak lagi berani mencegah,” terangnya.
Adapun permasalahan PT SI mencuat setelah melakukan pelebaran lahan milik warga Talang Gunung, yang merupakan penduduk lokal setempat. Gunawan melanjutkan, PT SI yang berhak mengelola lahan di Register 45 seluas 43.500 ha, mencoba meluaskan lahan perkebunan hutan produksi hingga sekitar 70.000 ha. “Pada akhirnya dilakukan pertemuan dan PT SI mengakui lahan penduduk setempat. Adapun para perambah yang bermukim di area Register 45 disingkirkan,” kata Gunawan.
Menurut dia, mereka yang digusur PT SI melalui pam swakarsa dibantu aparat Brimob, hingga kini terus menuntut diberi tanah. Para penduduk itu menamakan diri sebagai Meguo Pak dan dibantu advokasi oleh mantan Kepala Staf Teritorial KSAD Mayjen (purn) Saurip Kadi.