REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengesahan UU Zakat masih menjadi tanda tanya bagi para pengelola zakat. Implementasinya belum bisa diputuskan, padahal beban rakyat miskin jika rencana kenaikan BBM disetujui tak bisa ditangguhkan.
"Disahkannya UU Nomor 23/2011 tentang Zakat pada 27 Oktober 2011 lalu, sampai saat ini masih menjadi semacam pro kontra, karena banyak pasal multi tafsir dan pasal ancaman terkait insentif masyarakat di tingkat informal," jelas Ketua Umum Forum Zakat (FOZ), Ahmad Juwaini, Kamis (29/3).
Wajah perzakatan Indonesia lima tahun mendatang, lanjut Juwaini, belum terbaca baik atau buruknya. Asosiasi organisasi pengelola zakat yang menghimpun 150 organisasi pengelola zakat di Indonesia ini berharap ada penjelasan lebih lanjut dari pemerintah. Sekaligus memperjelas pasal-pasal yang bisa menimbulkan perbedaan persepsi.
Implementasi perundangan tersebut memang tengah digodok Kementerian Agama dalam sebuah peraturan pemerintah (PP). "Semoga PP itu menyerap aspirasi stakeholder zakat agar tetap eksis," kata Juwaini.
Wakil Ketua Umum FOZ, Sri Adi Bramasetia, juga menilai UU Zakat menyisakan pertanyaan terkait posisi pengelolaan BAZ dan LAZ serta tindak lanjut program pemberdayaan masyarakat yang telah digulirkan dari dana zakat. "UU Zakat ini bisa kontraproduktif jika tak dilakukan penjelasan memadai tentang peran pengelola zakat. Padahal fungsi mereka nantinya dibatasi," ujar Bram.
Jika diterapkan, UU Zakat memang terkesan bersifat sentralisasi pengelola zakat. Belum jelasnya aturan operasionalisasi pasca pengesahan UU tersebut melahirkan kekhawatiran. Bram pun meminta agar semua kelengkapan pelaksanaan UU Zakat dituangkan secara tegas dan tertulis. Sehingga aturan serta pelaksanaannya lebih bisa diterima LAZ di daerah.