REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengacara Ari Yusuf Amir menilai keputusan presiden memberikan grasi kepada terpidana narkotika asal Australia, Schapelle Corby, sebagai kebijakan yang tidak tepat. Meski presiden secara konstitusi memiliki hak memberikan grasi, namun seharusnya kebijakan yang akan diambil bisa melihat pada situasi di masyarakat.
"Secara konstitusi pemberian grasi itu tak ada masalah tetapi policy-nya saja tidak tepat, karena sekarang ini kita sedang melakukan perang terhadap narkoba," kata Ari kepada Republika usai seminar di Jakarta, Kamis (24/5).
Dengan dikeluarkannya grasi kepada Corby, Ari mengatakan, masyarakat tidak bisa melakukan pembatalan secara hukum. Namun keputusan yang diambil presiden ini bisa mendapatkan hukum secara moral oleh masyarakat.
"Rasanya tidak ada jalan secara yuridis (untuk melakukan pembatalan). Tapi secara moril, masyarakat bisa menolak hal itu," ujarnya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan grasi atau pengurangan masa tahanan kepada terdakwa kasus narkoba asal Australia, Schapelle Leigh Corby. Presiden memberikan Corby grasi lima tahun dari total vonis penjara selama 20 tahun.
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengatakan, Grasi dari Presiden ini mempertimbangkan sistem hukum Indonesia dan warga negara Indonesia (WNI) di Australia yang juga tengah menjalani masa hukuman di sana.
Corby divonis selama 20 tahun oleh Pengadilan Negeri Denpasar, karena terbukti membawa marijuana atau ganja seberat 4,2 kilogram saat berkunjung ke Bali. Dia kini ditahan di Penjara Kerobokan Bali.