Kamis 31 May 2012 21:10 WIB

'Negara-negara di Dunia tak Pernah Berikan Grasi Narkotika'

Schapelle Leight Corby
Foto: Firdia Lisnawati/AP
Schapelle Leight Corby

REPUBLIKA.CO.ID, PAKANBARU - Pengamat hukum dari Universitas Islam Riau jurusan kriminologi Syahrul meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menjelaskan alasannya menerbitkan grasi bagi terpidana kasus kejahatan narkotika Schapelle Leigh Corby asal Brisbane yang divonis 20 tahun oleh PN Denpasar, Bali pada 2005.

"Agar tidak terjadi simpang siur sebaiknya Presiden SBY memberikan kepastian kenapa grasi itu diberikan," kata Syahrul, pada ANTARA di Pakanbaru, Kamis (31/5).

Menurut Syahrul pemberian grasi memang hak prerogatif Presiden SBY dan secara faktual tidak bisa diintervensi siapapun. Akan tetapi pada sisi lain ketika SBY mendeklarasikan program kerja 100 harinya, pada awal jadi Presiden yakni pemberantasan narkoba sangat bertentangan.

Bahkan di sisi hukum negara-negara dunia tidak pernah memberikan grasi itu, karena narkoba adalah itu kejahatan luar biasa. "Selain narkoba kejahatan luar biasa juga termasuk semua kasus korupsi dan teroris, naifnya di Indonesia narkoba kini justru bersarang dan subur," katanya.

Naifnya lagi sebesar 5.000 triliun dolar AS per tahun aset investasi narkoba di dunia melalui kartel-kartel internasional, dan pada tingkat ASEAN bisnis tersebut makin menggiurkan.

Sedangkan narkotika di Indonesia sudah merupakan wabah, pasarnya sangat menjanjikan karena harganya tinggi. Atas konsekuensi itu, ia menyesalkan kebijakan Presiden SBY yang memberikan grasi yang seharusnya diberikan analisis sosiologis dan filosofinya.

Karena itu sebaiknya penjahat narkoba tidak memiliki tempat di tanah air ini, sedangkan penghukumannya tidak seperti di negara lain di mana pelaku narkoba diancam dengan hukuman mati bahkan ada yang dieksekusi mati.

SBY bisa membatalkan pemberian grasi itu agar tidak menuai kritik dari seluruh lapisan masyarakat karena itu penjelasan dari SBY diperlukan antara lain berupa alasan kondisi sosiologis, apakah kemungkinan ada barter dengan 71 atau 301 penjahat asal Indonesia yang ditahan di Australia.

Penjelasan ini dibutuhkan agar tidak menimbulkan persepsi simpang siur mulai dari alasan sosiologis, hukum dan filosofis. "Memang grasi adalah hak prerogatif Presiden SBY akan tetapi jika ada tekanan tinggi apapun yang dikeluarkan oleh seorang Presiden ada konsekwensi hukumnya, dan grasi tersebut bisa dibatalkan," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement