REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pencipta karakter tonil boneka Si Unyil dan pemerhati pendidikan anak, Ir Suyadi alias Pak Raden, mengeluhkan sedikitnya minat seniman musik menciptakan lagu anak yang sekarang justru didominasi lagu orang dewasa dan percintaan dinyanyikan anak-anak, sehingga dapat mempengaruhi perkembangan mental mereka.
"Ibu Sud dan AT Mahmud mengarang lagu anak berlandaskan kesukaan mereka dan suka melakukannya dengan harapan anak-anak bergembira dengan bernyanyi," kata Pak Raden di Jakarta, Kamis (12/7).
Ia mengatakan, di zaman sekarang pencipta lagu ogah mengarang untuk anak-anak karena khawatir lagunya tidak laku di pasaran.
"Lihatlah Pak Kasur dan Bu Kasur yang membuat lagu karena kecintaan terhadap anak. Jadi, saat studio rekaman meminta atau tidak mereka terus bikin lagu. Hal terpenting ialah anak-anak terus bernyanyi," katanya.
Lagu anak, menurut dia, memiliki kekhasan layaknya ciptaan Bu Kasur yang meramu secara singkat, pendek, gampang dinyanyikan, dan mudah dihafalkan. Kecenderungan lagu itu sekali dinyanyikan anak-anak, maka langsung hafal.
Pak Raden mengatakan, sebelum tahun 2000 lagu dewasa memang banyak dan dinyanyikan anak kecil, tetapi mereka juga memiliki porsi yang banyak dalam menerima lagu anak-anak.
Dasawarsa 1990-an memiliki jatah lagu anak yang dinilainya cukup ideal. Masa itu adalah zaman keemasan lagu anak, misalnya Trio Kwek-kwek, Maisy, Cikita Meidi, Saskia, Geovani, dan masih banyak lagi. Mereka sukses menjadi idola anak dan yang terpenting anak bernyanyi lagu anak.
"Sekarang saya prihatin dengan lagu-lagu yang tidak mendidik, seperti lagu 'Hamil Duluan' yang berisi pesan yang tidak layak didengar atau bahkan dihapalkan anak," katanya.
Berkaitan dengan masuknya budaya pop Korea (K-Pop), ia menilai, budaya itu biarlah masuk ke Indonesia, karena siapa pun tidak bisa mengurung diri sendiri dari masuknya budaya luar. Pop Korea itu memiliki waktu edar tertentu dan akan ada juga waktunya meredup.
"Tidak selamanya. Sampai kapan? Kita ingat masyarakat Indonesia acapkali keranjingan budaya lain. Melayu pernah, India pernah, dan sekarang Korea. Tentu nanti akan ada pernah ini pernah itu, asal jangan keterluan," demikian Suyadi.