REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengacara senior Adnan Buyung Nasution menilai keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi terhadap terpidana hukuman mati kasus narkoba menunjukkan langkah inkonsistensi, sehingga patut dipertanyakan.
"Beliau mengatakan akan menjadi panglima terdepan untuk memberantas korupsi, juga narkoba dan sebagainya, ternyata sekarang beliau di masalah narkoba ini malah memberikan grasi. Ini bertolak belakang dengan komitmen dan ucapan beliau pada waktu janji-janji akan menjadi presiden, sehingga kita harus mempertanyakan dan kita kritik," kata Adnan, di Jakarta, Senin (22/10).
Adnan mengatakan kejahatan narkoba termasuk salah satu kejahatan kemanusiaan, selain terorisme dan korupsi. Tiga kategori kejahatan tersebut menurut dia, layak diganjar hukuman seberat-beratnya termasuk hukuman mati.
"Kalau sudah ada kasus yang dihukum berat, jangan dikasihkan lagi grasi. Sama sekali itu menunjukkan pemerintah plin-plan dan ragu-ragu," kata Adnan.
Adnan mengaku tidak ingin berburuk sangka dengan berpikir pemberian grasi sebagai upaya pengalihan isu dari pemerintah. Dia memperkirakan keputusan pemberian grasi oleh Presiden dipengaruhi pihak lain di luar Mahkamah Agung.
"Saya tidak mau berburuk sangka ini pengalihan isu. Saya hanya berpikir Presiden mendapat saran atau 'advice' dari berbagai pihak di luar Mahkamah Agung, sebab Mahkamah Agung yang saya dengar mereka tidak setuju tetapi akhirnya dikeluarkan juga grasi oleh Presiden, sehingga ini berarti Presiden terpengaruh dari sumber lain yang tidak kita ketahui," beber dia.
Sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi terhadap sejumlah terpidana hukuman mati yang terkait kasus narkoba. Grasi antara lain diberikan terhadap terpidana kasus narkoba jaringan internasional Deni Setia Maharwan alias Rapi Muhammad Majid dan Melika Pranola alias Ola, warga negara Jerman Peter Achim Franz Grodmann, dan warga Australia Schapelle Leigh Corby.
Menurut Adnan, grasi yang diberikan terhadap warga negara asing tidak dapat dikatakan sebagai upaya diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia.
"Kalau dikatakan misalnya grasi yang diberikan terhadap warga negara Australia sebagai usaha diplomatik untuk melakukan 'bargaining', saya tidak melihat Australia ada ancaman terhadap Indonesia, sehingga perlu dilakukan 'bargaining' dengan memberikan jasa baik. Perlu dipertanyakan konsistensi pemerintah dalam memberantas korupsi, narkoba, dan terorisme," kata dia.