REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto mengatakan, Indonesia tidak seharusnya menjual sumber energi untuk membiayai pembangunan, karena cadangan energi yang dimilikinya seperti minyak, gas dan batu bara sangat terbatas.
"Termasuk batu bara yang akan habis dalam 20 tahun jika pola eksploatasinya tidak diubah. Seperti kita ketahui banyak perusahaan Cina datang ke Indonesia mencari-cari batu bara, karena Cina sangat rakus energi," kata Deputi BPPT bIdang Teknologi Informasi, Energi dan Material (TIEM) itu, di Jakarta, Rabu (31/10).
Unggul mengatakan hal itu di sela penandatanganan kerja sama berbagi informasi mengenai bisnis energi dan mineral antara BPPT dan K-Coal, Jepang Energi Infolink (JEI) serta Cina Coal Transportation and Distribution Association (CCTD) dan peluncuran website Cina Coal Times.
Produksi batu bara Cina sangat besar mencapai 3,2 miliar ton, namun pertumbuhan ekonominya membutuhkan konsumsi lebih banyak lagi dari itu, yang pada 2020 konsumsinya diprediksi mencapai 4 miliar ton, ujarnya.
Sementara itu Indonesia pada 2010 memproduksi batu bara 275 juta ton meskipun kebutuhan konsumsinya hanya 26,3 persennya, atau 70-80 juta ton, yang didominasi untuk pembangkit listrik.
"Jadi sisanya diekspor. Ini yang harus dicermati, karena bila kita menggunakan skenario pertumbuhan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) kebutuhan konsumsi batu bara kita sampai 40 persennya," katanya.
Cina dan India, ujarnya, memiliki cadangan batu bara melimpah, tapi itupun kurang bisa menutupi pertumbuhan konsumsinya, karena itu Indonesia yang tak memiliki banyak cadangan batu bara seharusnya tidak lagi membuka tambang-tambang baru untuk kepentingan ekspor dan lebih baik memilih menyimpannya untuk kebutuhan di masa depan.
Sementara itu, Presdir K Coal Eiichiro Makino, mengatakan website berbayar Cina Coal Times sangat bersifat informatif dan penting bagi para usahawan batu bara Indonesia yang ingin mengetahui kondisi batu bara dunia, cadangan, produksi, distribusi, harga hingga konsumsinya.
Makino mengatakan, merosotnya harga batu bara dunia hingga separuh harga, yaitu dari 130 dolar AS per ton menjadi hanya 60-70 dolar AS per ton sejak awal September 2012 hanya sementara, karena harga batu bara ke depan akan terus meningkat.
"Kebutuhan batu bara pada 2030, 1,5 kali lipat dari sekarang, selain Cina yang butuh batu bara secara besar-besaran, Jepang, Korea dan berbagai negara lain juga butuh, jadi dengan trend itu harga batu bara akan kembali normal," katanya.
Makino juga menyebutkan, pihaknya akan menyelenggarakan Indonesia-Cina Summit di Bali pada awal Maret 2013 yang akan membahas mengenai berbagai regulasi di bidang energi, khususnya batu bara, termasuk soal investasi, kelistrikan, logistik dan infrastruktur pendukung.