Rabu 19 Jun 2013 14:40 WIB

BI Janji Kendalikan Harga Properti

Rep: Satya Festiani/ Red: Nidia Zuraya
Perumahan, ilustrasi
Perumahan, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) berencana mengendalikan harga properti melalui jalur bank. Harga properti di Indonesia melambung tinggi. Salah satunya disebabkan oleh pembelian properti secara tunai.

Direktur Eksekutif Departemen Hubungan Masyarakat BI, Difi A Johansyah, mengatakan BI tidak bisa mengendalikan pihak yang membeli properti secara tunai. "Yang mau kita kendalikan yang melalui jalur bank," ujar Difi usai acara Laporan Penelitian Program Money-Minded, di Menara ANZ, Jakarta, Rabu (19/6).

Difi mengatakan harga properti saat ini semakin mahal karena banyaknya pembelian rumah kelas menengah ke atas melalui tunai. Berdasarkan data yang dikeluarkan konsultan properti Cushman & Wakefield pada semester terakhir tahun lalu, sebanyak 27 persen pembelian rumah melalui tunai, dan sebanyak 22 persen melalui tunai bertahap. Sisanya, atau 51 persen, dibeli melalui kredit.

BI khawatir pelonjakan harga tersebut berpengaruh pada kredit pemilikan rumah (KPR) kelas menengah ke bawah. "Di Singapura, warganya resah karena harga propertinya naik. Rupanya yang beli foreigner (orang asing)," ujar Difi.

Deputi Gubernur BI Bidang Pengawasan Perbankan, Halim Alamsyah, sebelumnya mengatakan bahwa BI tengah melakukan penyempurnaan aturan uang muka kredit perumahan. "Permintaan terhadap KPR memang tinggi, terutama yang harganya mahal. Lebih cepat memang yang di atas 70 meter persegi," ujar Halim.

Berdasarkan data BI, pada April 2013, KPR tumbuh 40 persen dalam setahun terakhir. Angka ini jauh di atas rata-rata kredit perbankan secara umum yang tumbuh 21,9 persen secara tahunan. KPR tipe di atas 70 meter persegi pertumbuhannya meningkat dari 39,8 persen di bulan Maret menjadi 45,1 persen di bulan April.

Halim mengimbau agar bank lebik berhati-hati dan tidak terlalu percaya diri. Bank juga disarankan untuk tidak menurunkan standar pemberian kreditnya walaupun porsi kredit properti terhadap keseluruhan kredit perbankan kurang dari 10 persen. Kondisi ini berbeda dengan beberapa negara lain, yang bisa berkisar 60 persen-70 persen dari total kredit.

Deputi Gubernur BI Bidang Pengawasan Moneter dan Rupiah, Perry Warjiyo, mengatakan BI tengah mempersiapkan penguatan kebijakan makroprudensial untuk mencegahnya resiko yang berlebihan di sektor-sektor tertentu. Salah satunya adalah sektor properti.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement