REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan melantik Patrialis Akbar sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di Istana Negara, Jakarta, pada Selasa (13/8).
Sejumlah LSM, salah satunya Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menamakan dirinya sebagai 'Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK'. menyatakan, SBY melanggar konstitusi dengan pelantikan mantan Menteri Hukum dan HAM ini.
"Pada faktanya proses pencalonan Patrialis Akbar yang dilakukan Presiden adalah cacat hukum karena melanggar Undang Undang MK," kata peneliti ICW Emerson Yuntho, di kantor ICW, Jakarta, Ahad (11/8).
Emerson menjelaskan, dalam pasal 19 UU MK mengatur bahwa pencalonan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Keharusan ini agar masyarakat dapat turut serta secara aktif dan mengetahui proses pemilihannya dan dapat memberikan masukan atas calon tersebut.
Kemudian hal ini juga didukung dengan pasal 20 UU MK yang menyatakan pemilihan hakim konstitusi wajib diselenggarakan secara objektif dan akuntabel. Dalam pasal 15 UU MK, hakim konstitusi juga harus memiliki integritas serta negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Dengan berdasarkan UU MK ini, koalisi menyatakan Presiden SBY telah melanggar UUD 1945 dan UU MK jika pengangkatan Patrialis tidak segera dibatalkan. Maka itu koalisi menuntut tiga tuntutan terkait hal ini.
Koalisi menyatakan Presiden SBY telah melanggar konstitusi dalam mengangkat Patrialis Akbar. SBY juga harus mengoreksi kekeliruan dan pelanggaran serius serta membatalkan Keputusan Presiden (Keppres) pengangkatan Patrialis akbar sebagai hakim konstitusi.
"Harus membentuk panitia seleksi calon hakim konstitusi dan menjalankan proses seleksi secara transparan, partisipatif dan akuntabel," tegasnya.