REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Tiga hari sempat tidak diproduksi, keberadaan tempe di pasaran dicari-cari warga. Seorang ibu rumah tangga, Diah, sudah berkeliling Pasar Anyar untuk mendapatkan sekotak.
"Sudah kangen ingin makan tempe lagi," ungkap Diah.
Hal serupa dialami pedagang makanan, Rizki. Telah satu jam ia berkeliling pasar, namun tak dapat menemukan tempe. Selama tiga hari belakangan, ia kewalahan karena terpaksa membeli tempe dari pasar swalayan.
"Beli di pasar swalayan lebih mahal, omzet dagangan jadi berkurang," kata Rizki.
Ia mengaku belum memiliki langganan penjual tempe di pasar. Jika tak bisa mendapatkan tempe di pasar, ia terpaksa merogoh kantong lebih dalam untuk membeli lagi tempe di pasar swalayan.
Nampaknya, walau pabrik tempe sudah kembali berproduksi, jumlah tempe yang dijual tidak sebanyak biasanya. Seorang pedagang tempe di Pasar Anyar, Opik, mengaku sengaja menjual tempe setengah dari jumlah biasanya. "Biasanya saya ambil dua kuintal. Barang langka dan kedelai mahal, terlalu beresiko kalau ambil banyak," ujar Opik.
Beberapa pembeli harus kecewa saat melewati lapaknya karena tumpukan tempe di sana sudah dipesan pembeli langganan Opik. Ia mengatakan selain harga naik dari Rp 6.000 menjadi Rp 7.000, ukuran tempe juga 'disesuaikan' pabrik. Namun, ia mengaku pembeli sudah relatif paham dengan kondisi harga sekarang.
Berbeda dengan tempe, tahu relatif lebih mudah ditemui. Jika sebelumnya harga untuk 10 buah tahu kuning seharga Rp 6.000 kini harnya Rp 7.000. Di hari pertama kembali berjualan, seorang pedagang tahu, Jeri, hanya menjual 400 buah tahu. Biasanya ia mengambil 700 hingga 800 buah tahu.
"Pabrik tidak ada penjatahan. Tapi saya sengaja ambil lebih sedikit karena harga belum stabil," tutur Jeri. Dari informasi yang didapatnya, harga tahu akan turun seiring desakan turunnya harga kedelai.
Ia bersyukur, saat masa protes usai pembeli kembali ramai dan mengerti dengan naiknya harga. Tiga hari belakangan tidak berjualan tempe, ia mengaku hanya membantu membersihkan kebun di rumah.