REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pembebasan bersyarat terhadap Corby jangan sampai melemahkan Indonesia untuk tetap secara tegas menindak kasus pidana penyalahgunaan narkoba, kata pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir.
"Jangan sampai pembebasan bersyarat terhadap Corby, membuat penegakan hukum menjadi selektif dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku (penyalahguna) narkoba,"kata Mudzakkir di Yogyakarta, Selasa (11/2).
Mudzakkir menilai, pembebasan bersyarat yang dikabulkan oleh Kementerian Hukum dan HAM terhadap terpidana kasus narkoba Corby telah sesuai dengan peraturan yang berlaku seperti yang dialami terpidana lainnya. Sehingga, menurut dia, mengenai hal itu tidak perlu diperdebatkan lagi.
"Aturannya memang demikian, ketika masa hukuman tinggal 2/3 maka berhak mendapatkan pembebasan bersyarat, dengan catatan berkelakuan baik,"katanya.
Namun demikian, ia menilai, justru hal yang perlu menjadi kajian adalah ketika Corby mendapatkan grasi dari presiden berupa pengurangan hukuman lima tahun pada Mei 2012. Grasi itu diberikan secara khusus setelah sebelumnya Corby juga pernah mendapatkan remisi total 25 bulan.
"Sebenarnya kebijakan dahulu (pemberian grasi) yang lebih mencengangkan, yang ternyata baru disadari masyarakat sekarang. Sehingga dengan grasi,remisi dan pembebasan bersyarat itu, yang seharusnya dihukum 20 tahun,belum sampai 10 tahun saja sudah bebas,"katanya.
Menurut dia, kebijakan hukum seperti itu, berpotensi memberikan kesan bagi dunia internasional serta dalam negeri bahwa semangat pemberantasan narkoba di Indonesia masih lemah. "Itu dapat memberikan kesan pemberantasan narkoba tidak tegas. Itu juga dikhawatirkan tidak memberikan efek jera kepada penyalahguna narkoba,"katanya.