Kamis 20 Mar 2014 19:07 WIB

Ini Pertimbangan MK Tolak Permohonan Yusril

Rep: Andi Ikhbal/ Red: Mansyur Faqih
Gedung Mahkamah Konsitusi
Foto: www.republika.co.id
Gedung Mahkamah Konsitusi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan uji materil UU Pilpres yang diajukan Yusril Ihza Mahendra tidak memengaruhi pelaksanaan pilpres 2014. Peserta pemilu tetap harus berkoalisi untuk memenuhi ketentuan presidential treshold.

Ketua Majelis Hamdan Zoelva mengatakan, tidak berwenang mengadili petitum 3 dan 4 permohonan mantan menkumham tersebut. Petitum 3 menyebutkan, pasal 4 ayat (1) dan pasal 7C UUD 1945 menyatakan, sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial. Maka, norma pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) yakni pemilihan umum dilakukan serentak.

Sedangkan petitum 4, maksud pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yakni, setiap partai politik yang dinyatakan sebagai peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan capres dan cawapres sebelum pelaksanaan pilpres.

"Amar putusan, mengadili, menyatakan, permohonan pemohon untuk menafsirkan pasal 4 ayat (1) dan pasal 7C, dikaitkan dengan pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) serta penafsiran pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak dapat diterima.

Mahakamah menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Hamdan membacakan amar putusan Gedung MK, Kamis (20/3).

Hakim Konstitusi, Fadil Sumadi menyatakan, penafsiran yang dimohonkan tersebut dapat dikatagorikan sebagai fatwa mahkamah. Berdasarkan pertimbangan itu, petitum 3 dan 4, permohonan UU Pilpres Yusril dianggap bukan menjadi kewenangan MK.

Dia menambahkan, MK tetap melakukan uji konstitusionalitas terhadap norma dan pasal hukum yang diajukan. Karena putusan perkara MK terkait UU Pilpres sebelumnya dinilai berbeda dengan pengajuan saat ini lantaran dasar pengujiannya tidak sama. 

"Untuk permohonan terkait pelaksanaan pemilu sekarang ini dan sistem pemerintahan presidensial, mahkamah mempertimbangkan, permohonan tersebut benar, pemilu harus berlangsung serentak," ujar dia.

Hakim Konstitusi Harjono menambahkan, ketentuan itu sudah diputus MK sebelumnya. Yaitu pelaksanaan pemilu serentak baru dapat berlangsug pada 2019. Dia juga membantah kalau penundaan waktu tersebut karena ketidaksiapan teknis dan tata cara penyelenggaraan pemilu.

Alasannya, kalau pada 2014 pemilu dilaksanakan serentak, maka akan berakibat pada kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Menurut dia, berdasarkan pasal 22E ayat (6) UUD 1945 ketentuan pemilu harus diatur dalam undang-undang. Dengan kondisi waktu sekarang ini, tidak mungkin membuat aturan norma baru secara komprehensif.

Ia juga menjelaskan mengenai dalil permohonan pasal 9 UU Pilpers mengenai terdapat syarat perolehan kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional dalam mengusung capres dan cawapres. Dikatakan, hal itu merupakan kebijakan hukum terbuka yang dapat ditentukan sebagai kebiajakan hukum pembuat undang-undang.

"Permohonan atas pembatalan presidential treshold dianggap tidak relevan untuk dipertimbangkan. Atas dasar itu, dalil yang diajukan oleh Yusril tidak beralasan menurut hukum," kata Harjono.  

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement