Senin 25 Aug 2014 17:29 WIB

Fachri Ali Sebut MD3 Kudeta Politik Elite

 Koalisi Masyarakat Sipil UU MD3 yang terdiri, Peneliti IPC Ahmad Hanafi, Peneliti IBC Roy Salam, Peneliti YAPPIKA Hendrik Rosdinar, Peneliti ICW Abdullah Dahlan, Peneliti PSHK Ronald Rofiandri memberi keterangan pers terkait pengesahan UU MD3 (ilustrasi)
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Koalisi Masyarakat Sipil UU MD3 yang terdiri, Peneliti IPC Ahmad Hanafi, Peneliti IBC Roy Salam, Peneliti YAPPIKA Hendrik Rosdinar, Peneliti ICW Abdullah Dahlan, Peneliti PSHK Ronald Rofiandri memberi keterangan pers terkait pengesahan UU MD3 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar politik Fachri Ali menegaskan munculnya perubahan undang-undang MD3 yang diputuskan pasca diketahuinya hasil pemilihan legislatif jelas merupakan kudeta politik yang dilakukan oleh para elit.

"Soal MD3 ini, saya katakan, jelas kudeta politik elit. Karena jelas rakyat yang memilih elit-elit politik dengan harapan menyuarakan kepentingan rakyat," kata pakar politik Fachri Ali dalam diskusi di MPR Senayan Jakarta, Senin.

Lebih lanjut Fachri menjelaskan dalam perubahan UU MD3 yang baru, pertanyaannya apakah dalam (MD3) itu untuk kepentingan elit-elit politik yang menggenggam kekuasaan atas pemberian rakyat itu atau kepentingan rakyat.

Menurut Fachri MD3 itu khususnya soal pemilihan pimpinan dewan, jelas hanya untuk kepentingan elit-elit politik.

Fachri menegaskan masyarakat memilih dengan harapan akan bisa menyuarakan kepentingan mereka. Namun, tambahnya, ternyata telah dibelokkan atau dikudeta oleh para elit.

"Mohon dicatat, supaya anggota DPR belajar etik (soal etik) kekuasaan. Apa yang seharusnya mereka lakukan," kata Fachri.

Menurut Fachri, anggota DPR wajib belajar etika kekuasaan, jika tidak maka mereka akan mengambil keputusan subyektif dan hanya untuk kepentingan kelompok bukan kepentingan bangsa atau rakyat.

Pengesahan UU MD3 dilakukan han sehari sebelum pelaksanaan pilpres dan diwarnai oleh aksi keluar dari parpol pendukung capres Jokowi-JK. Persoalan utama yang menjadi perdebatan adalah perubahan soal penentuan posisi pimpinan dewan dan alat kelengkapannya.

Dalam UU MD3 sebelumnya pimpinan dewan otomatis dipegang oleh parpol pemenang pemilu dan dibagi secara proporsional. Sementara dalam UU MD3 yang baru pimpinan dewan dan alat kelengkapan dipilih langsung oleh anggota.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement