REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nota keberatan atau eksepsi yang diajukan mantan Wakil Rektor Universitas Indonesia, Tafsir Nurchamid, ditolak Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Eksepsi yang disampaikan terdakwa kasus pengadaan dan instalasi teknologi informasi di Perpustakaan Universitas Indonesia (UI) melalui tim penasihat hukumnya itu, dinilai telah memasuki pokok perkara.
"Eksepsi tidak dapat diterima, materi persidangan harus dilajutkan ke proses persidangan untuk pembuktian," kata Ketua Majelis Hakim Sinung Hermawan, di Pengadilan Jakarta, Rabu (27/8).
Pun dengan eksepsi mengenai surat dakwaan yang diminta batal demi hukum juga tidak dapat diterima. Hakim Sinung mengatakan, Majelis Hakim memandang surat dakwaan penuntut umum KPK sudah sejalan dengan Pasal 143 KUHAP.
"Atas penolakann ini, Majelis Hakim memerintahkan jaksa penuntut umum melanjutkan proses pemeriksaan, dalam hal ini menghadirkan saksi," kata Hakim Sinung.
Menanggapi ini, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Adyantana Meru Herlambang mengatakan, ada sejumlah saksi terkait yang akan dihadirkan dalam sepanjang rangkaian persidangan. "Ada sekitar 30 saksi termasuk saksi ahli yang akan dihadirkan," kata Jaksa Adyantana.
Tim penasihat hukum Tafsir menerima putusan ini. Anggota tim penasihat hukum Tafsir, Chudry Sitompul pun meminta agar para saksi yang terlebih dulu dipanggil adalah mereka yang melaporkan kasus dugaan korupsi itu ke KPK.
Adapun, dalam sidang sebelumnya keberatan yang diutarakan penasihat hukum Tafsir adalah seputar tak tepatnya tuduhan.
"Sama sekali tidak ada keuangan Negara yang dirugikan karena dalam perkara a quo (terdakwa) dana pengadaan infrastruktur perpustakaan UI termasuk pengadaan instalasi IT berasal dari hasil kerja sama antara UI dengan BNI 46, sesuai Pasal 12 PP No 152 tahun 2000 maka dana tersebut termasuk kategori dana masyarakat," demikian bunyi eksepsi Tafsir yang dibacakan penasehat hukumnya Puspa Pasaribu di Pengadilan Tipikor Jakarta Rabu (13/8).
Atas dasar ini, Puspa menilai tidak ada perbuatan korupsi yang dilakukan oleh siapapun termasuk Tafsir. Dia pun memandang dakwaan yang disusun oleh JPU KPK tak berlandas.
"JPU tidak mampu menguraikan peran atau tindakan terdakwa secara utuh soal penerimaan layar komputer merk Apple (Macintosh) dan tablet merk Apple (iPad) yang dituduhkan berkaitan dengan kasus ini," ujarnya.
Pernyataan Puspa berangkat dari kesaksian Dedi Abdul Rahman yang sudah diperiksa oleh KPK dalam proses penyidikan sebelum kasus naik ke pengadilan. Dikatakannya, Dedi tak pernah sama sekali mengatakan ada pemberian dua peralatan elektronik tersebut kepada Tafsir.
"Barang-barang itu kiriman dan sudah ada di rumah terdakwa. Setelah mendapatkan kiriman ini, terdakwa sudah mengembalikannya. Apakah mungkin seseorang rela mempertaruhkan reputasinya selama ini hanya untuk dua alat eletronik," ujar Puspa.