Senin 26 Jan 2015 22:14 WIB

Politikus PDIP: 100 Hari Mendatang Bisa Jadi Indonesia Punya Presiden Baru

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Bayu Hermawan
Politikus PDIP Effendi Simbolon.
Foto: Republika/Wihdan
Politikus PDIP Effendi Simbolon.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Effendi Simbolon melontarkan berbagai kritikan terhadap pemerintahan Jokowi-JK yang telah berjalan 100 hari. Ia pun menyindir dalam 100 hari berikutnya tak menutup kemungkinan Indonesia memiliki presiden yang baru.

Menurutnya pemerintahan Jokowi-JK harus segera dibenahi dan dievaluasi. Sebab kekisruhan yang terjadi belakangan ini dalam pemerintahan Jokowi, dapat menjadi celah bagi lawan politiknya untuk menjatuhkan Jokowi.

"Kalau tidak cepat dievaluasi dan saya liat JK terlalu pasif, maka bukan tidak mungkin 100 hari yang kedua belum tentu kita ada di sini lagi, bisa saja 100 hari kedua kita bicara presiden yang baru," katanya di Universitas Paramadina, Jakarta, Senin (26/1).

Effendi menilai, lawan politik pemerintahan Jokowi pun tak akan tinggal diam melihat peluang penjegalan Jokowi. Menurutnya, kondisi saat ini pun menjadi celah bagi mereka untuk berkuasa.

"Karena teman di seberang sana diam-diam cambuk, stand by monitor dia. Ketika ada peluang, siapa yang tidak haus kekuasaan," ucapnya.

Ia menyebut, pemerintahan Jokowi melemah karena ulah dan kesalahan internal KIH sendiri. Effendi melanjutkan, Jokowi pun dinilai melakukan kesalahan karena memilih sejumlah pejabat yang tak tepat dalam jajaran kabinetnya.

Effendi mencontohkan seperti Rini Soemarno yang terpilih menjadi Menteri BUMN, Sudirman Said sebagai Menteri ESDM, serta Sofyan Djalil menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Terpilihnya sejumlah pejabat tersebut justru dinilai mengganggu pemerintahan Jokowi.

"Bukan kami penyebabnya, bukan KIH loh. Apalagi PDIP berpikiran menganggu Jokowi, ga mungkin. Tapi justru seperti saya terkaget-kaget, kok kebijakan yang diambil begini," katanya.

"Oh ternyata ada gumpalan-gumpalan kelompok yang lingkupi dia, seperti di kebijakan energi ekonomi ada Rini Soemarno, ada Sudirman Said, Sofyan Djalil, ini kelompok apa ini? Kok bisa-bisanya menangani ekonomi dari mana jalannya, sekolah dimana dulunya, nah yang begini-gini yang akhirnya memang menggangu pemerintahan itu," jelasnya.

Menurutnya, sejak awal pemerintahan dibangun, Jokowi-JK sudah salah melangkah. Pasalnya, antara presiden dengan para pembantu presiden justru saling tak mengenal satu sama lain.

"Berangkatnya pemerintahan ini memang antara nahkoda dengan navigator, dan kru enggak saling kenal," katanya.

Kendati demikian, ia mengatakan pemilihan para pembantu presiden dalam kabinetnya ini merupakan hak prerogatif presiden. Selain itu, ia juga mengibaratkan pemerintahan Jokowi ini layaknya pesawat yang tengah mengalami turbulensi. Ia pun mengkhawatirkan terjadinya turbulensi kedua, yakni saat pembahasan rancangan APBN-P 2015 di DPR nanti.

"Kalau itu turbulance politik, kalau itu tidak disahkan, maka APBN yang digunakan itu yang 2015. Kalau itu yang digunakan, game over pemerintahan. Preventifnya enggak ada," jelasnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement