REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Permintaan pasar dunia terhadap kelapa sawit yang meningkat secara signifikan tak diiringi dengan peningkatan kehidupan pekebun.
Salah satu kebijakan yang penting dalam pengaturan sektor perkebunan yang disahkan akhir tahun lalu adalah UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
“UU Perkebunan ini masih kurang mengakomodir kepentingan pekebun mandiri karena tidak mengatur tentang tata kelola perkebun alternatif yang mengangkat peran koperasi rakyat. UU ini hanya mengatur yang dianggap tidak penting oleh petani seperti skema kemitraan,” nilai Mansuetus Darto dari Serikat Petani Kelapa Sawit dalam rilisnya, Rabu (18/2).
Skema Kemitraan dalam UU Perkebunan ini pun masih belum mampu untuk memposisikan masyarakat/petani sejajar dengan perusahaan dalam pengelolaan usaha perkebunan. Selain itu, aspek lingkungan dalam UU ini masih samar-samar dan terkadang tidak tegas dalam perlindungan lingkungan hidup.
“Tidak adanya dukungan terhadap upaya perlindungan khususnya pada wilayah yang bernilai karbon tinggi (HCS) dan bernilai konservasi tinggi (HCV) serta lahan gambut di dalam wilayah konsesi perkebunan,” kritiknya.
Peran Pemerintah dalam upaya mengembangkan dan mempromosikan produk kelapa sawit bebas deforestasi di Indonesia di pasar global tak terlihat. Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Annisa Rahmawati melihat, UU Perkebunan ini tidak menjelaskan tentang penegakan hukum dan penindakan terhadap persoalan perusakan lingkungan.
“UU ini tidak menjelaskan dengan tegas soal peran serta masyarakat yang memiliki sifat berkeadilan,”tegasnya.