REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG-- Sejumlah nelayan yang tergabung dalam Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) Provinsi Lampung, mendesak pemerintah mengkaji ulang Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait alat tangkap ikan pukat tarik, cantrang dan jongrang. Pelarangan ini membuat nasib nelayan semakin terpuruk.
"Dengan alat itu (tarik pukat) saja, kehidupan para nelayan masih tidak menentu, apalagi dilarang dan diberikan sanksi, bisa-bisa nasib kami semakin buruk," tutur Suardi, salah seorang nelayan di Teluk Lampung, yang menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan menggunakan pukat tarik, Selasa (3/2).
Menurut dia, Permen yang dikeluarkan Menteri KKP, Susi Pudjiastuti tersebut sangat tidak berpihak dengan rakyat kecil, karena yang menggunakan alat tangkap ikan tersebut mayoritas nelayan di sini. Untuk itu, ia dan rekan sesama nelayan Teluk Lampung, berharap pemerintah meninjau ulang Permen KKP yang dinilai menyusahkan nelayan negeri ini.
Terbitnya Permen KKP tersebut, menimbulkan aksi ratusan nelayan mengadu ke DPRD Lampung, beberapa waktu lalu. Mereka meminta dukungan wakil rakyat untuk meninjau kembali Permen KKP yang tidak pronelayan. Di hadapan wakil rakyat, mereka menyatakan nelayan akan bangkrut massal dengan pelarangan penggunakan alat tangkap pukat tarik, cantrang dan jongrang.
HNSI Lampung mendata ada 1.600 nelayan di Lampung terancam bangkrut jika Permen KKP ini terus bekelanjutan dan tidak dikaji ulang oleh pemerintah terkait. Ketua HNSI Lampung, Marzuki Yazid, mengatakan Permen KKP Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan lobster, kepiting dan rajungan, dan Permen Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan penggunaan alat penangkapan ikan dengan pukat tarik, cantrang dan jongrang dinilai merugikan nelayan.
HNSI Lampung juga berharap peraturan tersebut dikaji ulang, karena sama sekali nelayan tidak pernah dilibatkan. Sampai kini, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Lampung harus melakukan sosialisasi lebih dulu Permen KKP ini.
Ia mengimbau petugas DKP jangan melakukan penangkapan sebelum nelayan mendapatkan alat yang baru. Pasalnya, kata dia, kalau main tangkap saja, siapa yang akan menanggung hidup keluarga nelayan. Sedangkan alat tangkap ikan yang baru belum bisa digunakan, karena ada sosialisasi.