REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menganggap kasus yang menimpa Nenek Asyani sebagai bentuk arogansi negara. Pasalnya, Nenek Asyani harus berurusan dengan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani), dalam kasus pencurian kayu.
"Masa yang mengajukan Perhutani terhadap nenek-nenek," ujar Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, saat dihubungi ROL, Jumat (13/3).
Menurutnya, justru negara harus melindungi rakyatnya, bukan malah melakukan tindakan kriminalisasi. Negara harus menjamin rakyat dari kebebasan memperoleh hak-hak sebagai warga negara.
"Seandainya bangsa ini punya nurani, siapa sih yang sesungguhnya paling memiliki tanggung jawab atas hak-hak dasar warga negara? Pasti negara," kata dia.
Hak-hak warga negara, tambah Maneger, diantaranya adalah hak untuk tidak direndahkan martabatnya karena status sosial. Selain itu, ada juga hak untuk tidak dipermalukan dan tidak diperlakukan secara tidak adil, seperti yang dialami Nenek Asyani.
Penjaminan itu merupakan kewajiban utama negara dalam menjalankan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini, BUMN merupakan representasi dari negara.
Nenek Asyani alias Bu Muaris, warga Dusun Secangan, Desa/Kecamatan Jatibanteng, Kabupaten Situbondo, harus berurusan dengan aparat berwajib setelah dituding mencuri kayu milik Perum Perhutani. Asyani dituduh mencuri kayu yang ditebang suaminya sendiri, yang bernama Sumardi sekitar lima tahun lalu di lahan milik sendiri.
Atas kasus yang menimpanya itu, Asyani sudah menjalani beberapa kali sidang di Pengadilan Negeri Situbondo. Pun sejak 15 Desember lalu, Asyani sudah dipenjarakan pihak berwajib. Selain terdakwa Asyani, kasus itu menyeret menantunya bernama Ruslan (23), tukang kayu Cipto (43), dan pengemudi pick up Abdus Salam (23).