REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Sinergi Masyarakat Untuk Indonesia (Sigma) Said Salahudin menilai ada sejumlah kekeliruan dalam Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Pilkada. Dua di antaranya terdapat di dalam Pasal 36 yang mengatur tentang pendaftaran pasangan calon oleh partai politik yang sedang mengalami perselisihan kepengurusan.
Di dalam Pasal 36 ayat (2) dinyatakan “Apabila terdapat penetapan pengadilan mengenai penundaan pemberlakuan keputusan Menteri”. Penggunaan kata "pemberlakuan" dalam frasa tersebut menurutnya keliru.
“Seharusnya yang benar adalah pelaksanaan, bukan pemberlakuan,” kata dia dalam rilis yang diterima Republika, Rabu (27/5).
Said melanjutkan, dalam hukum tata usaha negara, tidak pernah dikenal adanya penetapan pengadilan mengenai "penundaan pemberlakuan" Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Yang ada adalah Penetapan mengenai "penundaan pelaksanaan" KTUN.
“Mungkin KPU bermaksud menyamakan penundaan pemberlakuan dengan penundaan pelaksanaan. Tetapi keduanya jelas punya makna yang berbeda. Penetapan penundaan pelaksanaan KTUN oleh pengadilan punya implikasi hukum yang lebih luas,” tambah dia.
Said melanjutkan, penetapan penundaan pelaksanaan KTUN oleh pengadilan tidak sekadar menimbulkan konsekuensi terhentinya pemberlakuan atau daya laku (gelding) dari KTUN bersangkutan. Tetapi, kata dia, juga menyebabkan pengembalian keadaan hukum ke posisi semula (restitutio in integrum) sebelum KTUN yang dimaksud disengketakan.
Untuk menghindari permasalahan hukum, Said menyarankan KPU segera merevisi Peraturannya tersebut. Dia mengkhawatirkan, pihak yang merasa terpojok dengan adanya Penetapan "Penundaan Pelaksanaan" Keputusan Menkumham akan memanfaatkan dan berlindung di balik kekeliruan KPU tersebut.
“Mereka bisa menegasikan adanya fakta hukum tentang Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Menkumham,” tambah dia.