REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Fraksi Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi yang telah disetujui dalam rapat paripurna, kelak akan merugikan calon legislatif (caleg) yang baru.
"Dana aspirasi ini akan menjadi alat 'pencitraan' (oleh oknum anggota dewan saat ini) dan akan merugikan bagi caleg-caleg baru serta partai-partai yang kursinya kecil," kata Agun di Jakarta, Rabu (24/6).
Agun menyatakan menolak mengisi dan menandatangani formulir dana aspirasi tersebut, sebab menurut dia, pengambilan keputusan program dana aspirasi dipaksakan karena tidak menggunakan pemungutan suara, padahal ada tiga fraksi menolaknya.
"Jangankan tiga fraksi, satu anggota saja tidak setuju, maka harus dilakukan voting karena tidak didapatkan aklamasi," ujarnya.
Dia mengatakan program dana aspirasi akan menimbulkan ketidakadilan bagi daerah-daerah tertentu yang memiliki penduduk kecil, seperti Maluku, Kepri, dan sebagainya. Selain itu program ini juga dinilai akan menjadi 'kongkalingkong' yang rawan korupsi, dan bagi intern partai akan semakin menguatkan posisi tawar elite partai, yang akan semakin oligarki.
"Pada akhirnya DPR tidak lagi menjadi perwakilan rakyat, tapi perwakilan partai-partai, terutama kepanjangan elite 'penguasa' parpol, dan demokrasi semakin prosedural tidak substansial, tidak lagi berpihak kepada rakyat," jelasnya.
Pada Selasa (23/6), sidang paripurna DPR menyetujui Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi senilai Rp 11,2 triliun per tahun bagi anggota dewan, meskipun tiga fraksi yakni Hanura, PDIP dan Nasdem menolak.
Dengan disetujuinya program tersebut, masing-masing anggota dewan akan dibekali dana Rp20 miliar per tahun untuk kepentingan pembangunan di daerah pemilihannya. Program dana aspirasi ini menuai sejumlah perdebatan.