REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ditengarai tidak sejalan dengan prinsip Nawacita Jokowi-JK. Menurut Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto, ada tiga hal yang bertentangan dengan implementasi Nawacita. Lebih lanjut, Yenny mengatakan, Menteri BUMN Rini Soemarno mesti bertanggung jawab.
Pertama, sebut Yenny, alih-alih membangun kemandirian, BUMN justru dijebak lagi dalam ketergantungan pada utang luar negeri. Khususnya, utang dari Cina senilai Rp650 triliun. Yenny mengungkapkan, dengan bunga rata-rata 7 persen dalam jangka waktu pengembalian hingga 30 tahun, maka Indonesia butuh hampir Rp1.000 triliun untuk membayar utang tersebut.
"Sehingga, BUMN justru disetir oleh Cina, dan kemungkinan pengembalian utang akan berupa saham yang dimiliki Cina. Hal ini merupakan upaya menjual BUMN secara halus kepada Cina oleh Menteri Rini," kata Yenny Sucipto dalam rilis yang diterima ROL, Jumat (3/7).
Kedua, Yenny melanjutkan, pihaknya meragukan efektivitas penyertaan modal negara (PMN) dari APBN-P 2015 kepada BUMN senilai Rp68 triliun. Dia lantas menduga, hingga saat ini implementasi PMN tidak jelas.
"Dugaan transaksional dari PNM tersebut tinggi karena alokasi dan penggunaan tidak dapat diukur dalam nilai aset ataupun peningkatan keuntungan BUMN yang mendapatkan subsidi Negara tersebut," tutur dia.
Ketiga, Yenny menekankan, hingga saat ini Menteri Rini belum bisa menyampaikan road map arah pembangunan dan revitalisasi BUMN sesuai Nawacita. Ini penting, tegas Yenny, agar BUMN tidak selalu didesain merugi dalam laporan keuangan.
"Jika demikian, ini bagian dari upaya melanggengkan kegiatan sapi perah oleh politisi terhadap BUMN setiap tahun," ungkap dia.
Dalam hal ini, kata Yenny, pihaknya juga mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menyampaikan segera hasil penelusuran. Terutama, terkait dugaan adanya unsur politisi dan titipan pengusaha dalam jabatan strategis di BUMN.