REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasal penghinaan presiden dinilai sebagai salah satu sarana membangun etika. Pasal ini mengajarkan masyarakat untuk mulai menjaga kepantasan, kelayakan, kepatutan, kebenaran dan kejujuran.
"Terutama dalam ranah ekpresi kebebasan berbicara, berpendapat dan mengungkapkan gagsan ide di ruang publik secara bebas terbuka," kata pengamat politik dari Universitas Diponegoro, Yulianto, kepada Republika, kemarin.
Namun ada syarat yang harus dipenuhi sebelum pasal ini diberlakukan. "Selama aturan tersebut isinya jelas, tegas, dan memiliki efek baik untuk pembangunan dalam etika berdemokrasi, itu tidak masalah," kata dia.
Yulianto berpendapat kecil kemungkinan pasal tersebut akan digunakan pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan atau membungkam suara publik. Menurutnya kondisi sekarang ini sangat berbeda dengan era orde baru.
"Tidak semudah itu pemerintah memanfaatkannya untuk menyengketakan suasana represif pada masyarakat yang ingin bicara secara terbuka di ruang publik untuk hal yang berkaitan dengan pemerintah," ujarnya.
Dia menyebut pasal ini adalah langkah yang baik mengantisipasi orang yang terlalu banyak bicara sehingga bikin ruang publik pengap. "Yang isi pembicaraannya tidak karuan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan," ujarnya.
Pasal ini akan mempertegas bagaimana cara mengkritik dan untuk memberi masukan yang benar kepada presiden. "Supaya tidak keluar dari etika kepatutan dan kelayakan," kata dia.
Yang penting isi pasal harus jelas, tegas, dan memberikan aksentuasi pada publik untuk bebas menyampaikan pendapat tetapi mengedepankan etika dan norma. "Sehingga nanti kritik tetap enak didengar namun isinya tetap bisa dipertanggungjawabkan," ucapnya.
Pemerintah pun harus tegas dalam permberlakuan pasal ini. Apabila ada orang yang melakukan pelanggaran pada konteks mengggunakan ruang publik saat berbicra, maka harus dislesaikan dengan cara-cara yang sesuai regulasi di dalam pasal tersebut.