REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Sumatera Utara nonaktif, Gatot Pujo Nugroho mengakui bahwa dana untuk menyuap anggota DPRD Sumut 2009-2014 dan 2014-2019 berasal dari urunan Satuan Kerja Perangkat Daerah.
"Untuk interpelasi saya jelaskan bahwa saya memang juga diperiksa dalam kasus interpelasi, tapi ini tumpang tindih pemeriksaan, tapi yang ingin saya pastikan terhadap interperalsi uang dari SKPD," kata Gatot dalam sidang pemeriksaan terdakwa di pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/2).
Gatot dalam sidang diperiksa bersama dengan istrinya Evy Susanti yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan pemberian suap kepada hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara serta suap kepada mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Nasdem Rio Capella.
Ia menceritakan mengenai isi islah pada 19 Mei 2015 di Kantor DPP Nasdem Gondangdia yang dihadiri oleh Gatot Pujo Nugroho dan Wagub Tengku Erry Nuradi, Ketua Umum Partai Nasdem dan Ketua Mahkamah Partai Nasdem Otto Cornelis Kaligis.
"Kalau untuk OCK, itu yang tahu keuangan istri saya dan yang menyerahkan juga istri saya. Interpelasi itu dana dari SKPD dan uang 30 ribu dolar AS dan 2.500 dolar AS dari tabungan saya dan istri," ungkap Gatot.
Saat ini Gatot juga masih menjadi tersangka kasus dugaan tindak pidana suap kepada anggota DPRD Sumut 2009-2014 dan 2014-2019 terkait pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut 2010-2014, persetujuan Laporan Pertanggungjawaban Sumut 2012-2014 dan penolakan penggunaan hak interpelasi anggota DPRD Sumut 2015.
Gatot dan Evy juga didakwa menyuap mantan anggota Komisi III DPR 2014-2019 dari partai Nasdem Patrice Rio Capella sebesar Rp200 juta melalui Fransisca Insani Rahesti agar Rio Capella mengunakan kedudukannya untuk mempengaruhi pejabat kejaksaan Agung selaku mitra Kerja Komisi III DPR demi memfasilitasi silah guna memudahkan pengurusan penyelidikan perkara yang ditangani Kejaksaan Agung
Atas perbuatan tersebut, Gatot dan Evy didakwa pasar berlapis yaitu pasal 6 ayat (1) huruf a atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP dengang ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.
Serta pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman penjara paling singkat 1 tahun paling lama 5 dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.