REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kondisi rendahnya harga minyak dunia masih memukul industri hulu minyak dan gas bumi sampai saat ini. Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) mengungkapkan bahwa pelaku industri hulu migas mau tak mau harus mengencangkan ikat pinggang mereka untuk menghadapi lesunya industri hulu migas.
Sekretaris IPA Ronald Gunawan menjelaskan, sejumlah langkah untuk "bertahan hidup" bagi perusahaan migas saat ini adalah dengan melakukan restrukturisasi beberapa proyek dan restrukturisasi sejumlah aset yang ada. Itu semua dilakukan agar pelaku industri migas tetap bertahan.
"Kita kencangkan ikat pinggang. Kita lihat operation expenditure dan capital expenditure. Kita restruktur juga, salah satunya beberapa proyek terpaksa kita delay. Intinya agar bisa survive. Dan juga ada restrukturisasi aset," kata Ronald, Selasa (10/5).
Setidaknya, Ronald mengakui, dua upaya yang dilakukan pelaku industri tersebut dapat mempertahankan industri migas jangka pendek maupun jangka panjang.
Ia menilai dengan harga minyak dunia yang berada di bawah 50 dolar AS adalah permasalahan sumber daya migas yang ada. Alasannya, pengetatan pengeluaran saat ini akan membuat kegiatan eksplorasi menurun. Ujung-ujungnya, belum ada lagi temuan cadangan migas yang baru. Padahal potensi temuan cadangan baru cukup besar.
Ia juga menilai, untuk mendapatkan potensi tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar. Namun, melihat kondisi harga minyak saat ini para pelaku industri migas tentu melakukan perhitungan rinci bila harus melakukan eksplorasi dan eksploitasi di suatu lapangan.
"Yang perlu kita klarifikasi adalah masalah resources. Sering kita baca bahwa resources kita ada berapa billion. Padahal ada resource kita yang belum ditemukan alias potential resources," ujar dia.
Bahkan, lanjutnya, beberapa pelaku industri migas sengaja memberhentikan kegiatan produksinya dan beralih ke industri lain.
"Jadi banyak juga field yang belum bisa develop. Dan melihat talent gap, orang akan banyak switch ke jenis industri lainnya," kata dia.