Ahad 28 Aug 2016 19:04 WIB

'Inpres Anti-Kriminalisasi Bertolak Belakang dengan Korupsi di Daerah'

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bilal Ramadhan
Korupsi
Foto: Antara/Andika Wahyu
Korupsi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap Inpres Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan proyek strategis Nasional.

Hal ini karena Inpres tersebut ditengarai menyebabkan terjadinya penurunan dalam penindakan kasus korupsi pada semester awal 2016 oleh para penegak hukum.

"Perlu ditinjau ulang pelaksanaan Inpres ini, karena seperti yang ada di poin dalam Inpres ini, membuat sejumlah kasus korupsi tidak boleh diungkap ke publik, dan terlebih dahulu dilaporkan ke pejabat tertingginya," kata Peneliti Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Ahad (28/8).

Lantaran itu kata dia, proses penyelesaian korupsi secara internal berpotensi membuat terjadinya permainan di internal lembaga tersebut. Hal ini karena tidak adanya proses pengawasan dari publik terkait kasus, mengingat Inpres ini berpengaruh terhadap tidak dipublikasikannya suatu kasus ke publik.

Sehingga menurut Wana, Inpres ini juga berpotensi melindungi pejabat yang melakukan penyalahgunaan wewenang. "Ini bisa jadi tanda kutip, misalnya di dalamnya ada permainan, makanya Inpres ini ada untung dan ruginya jika harus dikembalikan ke proses administrasinya terlebih dahulu," kata dia.

Wana melihat pentingnya publikasi terhadap dugaan kasus korupsi untuk memastikan proses penindakan kasus tersebut, khususnya di daerah. Pasalnya, dari data penelitian ICW pada Semester satu 2016 juta sebagian besar kasus korupsi terjadi di daerah, yakni 205 kasus atau 97 persen. Sementara di nasional hanya lima kasus atau sekitar dua persen.

Begitu pun dari total 210 kasus yang pada Semester satu 2016 ini ditangani penegak hukum, 69 persen terjadi di birokrasi daerah. "Jadi inpres tentang anti kriminalisasi ini bertolak belakang dengan fakta dan banyaknya korupsi di birokrasi daerah," kata dia.

Peneliti ICW Divisi Investigasi lainnya, Febri Hendri mencontohkan kasus dugaan korupsi terbaru yang menjerat Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam terkait penerbitan izin usaha pertambangan. Menurut dia, masih banyak sejumlah pelanggaran yang terjadi di birokrasi daerah.

"Selain kasus Nur Alam, sebenarnya korupsi di daerah dan melibatkan kepala daerah itu banyak, bukan hanya tambang, tapi juga terkait hutan dan sumber daya alam lainnya, juga ada permintaan 7-15 persen fee proyek," kata Febri.

Lantaran itu, ia pun meminta penegak hukum untuk betul-betul mencermati sejumlah potensi penyelewengan tersebut. Diketahui, penilaian kinerja penanganan kasus korupsi semester satu 2016 yang dirilis ICW terjadi penurunan baik dari sisi jumlah kasus dan kerugian negara. Yakni turun dari 299 ke 210 kasus jika dibandingkan semester 1 tahun 2015.

Sementara jika dibandingkan dengan kinerja penindakan kasus di semester dua 2015, dari total 911 kasus di penyidikan, hanya 156 kasus yang masuk ke tahap penuntutan di semester satu 2016. Dengan begitu, masih ada 755 tunggakan kasus yang masuk ke tahap penuntutan di tahun ini.

Wana mengatakan, tunggakan terbesar berada di kejaksaan yakni 527 kasus dan 211 kasus di kepolisian, sementara KPK hanya 17 kasus.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement