REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei yang dilakukan Dompet Dhuafa University menunjukkan, masyarakat menilai pendidikan Presiden Indonesia minimal sarjana. Hasil ini DD University nilai relevan dengan poin-poin lain yang mereka tanyakan dalam survei persepsi masyarakat terhadap pendidikan Indonesia.
Direktur Dompet Dhuafa University Ahmad Juwaini menjelaskan, syarat pendidikan seorang presiden sering jadi isu politik menjelang pilpres dan sidang MPR penetapan syarat capres, tapi masyarakat tidak pernah ditanya. Dari survei yang dilakukan DD University, 59 persen responden menyatakan sebaiknya presiden lulusan pasca sarjana, 36 persen mininal sarjana, dan hanya lima persen yang menilai pendidikan presiden minimal SMA.
Secara agregat, 95 persen responden menyatakan pendidikan Presiden Indonesia minimal sarjana. Sementara itu, syarat kepala lembaga di bawah presiden itu minimal sarjana.
''Lalu mengapa pemimpin semua lembaga, pemimpin negara, syarat pendidikannya di bawah itu? Kalau syaratnya SMA, ini sudah politis dan tidak rasional,'' kata Juwaini dalam paparan survei evaluasi pendidikan Indonesia di Kantor Republika, Kamis (27/4).
Karena itu, aturan terkait syarat calon presiden harusnya bisa diubah. Hasil survei ini menunjukkan masyarakat ingin presiden setidaknya lulus S1. Presiden akan menimpin 250 juta dan menentukan nasib bangsa.
Poin tersebut, lanjut Juwaini relevan dengan pertanyaan lain yang ditanyakan dalam survei. Dalam poin pendidikan dan ketimpangan, 94 persen responden menilai pendidikan bisa membuat masyarakat lebih sejahtera. ''Ini bagus karena masyarakat mempersepsikan seseorang harusnya menempuh pendidikan kalau mau lebih baik kesejahteraannya,'' kata Juwaini.
Dalam survei terkait kualitas pendidikan, DD University menanyakan kepada publik tentang hubungan pendidikan dengan budi pekerti. Hasilnya, 86 persen responden menilai pendidikan Indonesia belum memberi dampak positif dalam membentuk budi pekerti. ''Ini mengkhawatirkan. Tapi, ini sekaligus jadi masukan bagi pembuat kebijakan soal konten pendidikan,'' kata mantan Presiden Direktur Dompet Dhuafa itu.
Pada poin efektivitas kurikulum, 58 persen responden setuju perubahan kurikulum meningkatkan kualitas pendidikan. Sementara 42 persen tidak melihat demikian. Hasil ini agak berimbang dimana masyarakat menilai perubahan kurikulum bisa jadi meningkatkan kualitas pendidikan dan bisa juga tidak.
Di poin hubungan pendidikan dengan korupsi, 66 persen responden menyatakan tingkat pendidikan tidak pengaruhi perilaku korupsi dan 34 persen responden menyatakan tingkat pendidikan memengaruhi perilaku korupsi. ''Kami belum dalami yang 34 persen ini. Dugaan kami, kalau ini didalami, jawabannya bisa jadi yang lulus sarjana lebih banyak melakukan korupsi,'' kata Juwaini.
Sementara pada poin hubungan program studi dengan karier, 66 persen responden menyatakan pilihan prodi mampu memengaruhi karier dan 34 persen responden menyatakan tidak berpengaruh. ''Ini berarti 2/3 responden menilai pendidikan punya pengaruh tehadap karier seseorang,'' ungkap Juwaini.