Rabu 31 May 2017 20:09 WIB

Jimly: Presidential Threshold Berpotensi Inkonstitusional

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Muhammad Fakhruddin
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie (kedua kanan) memimpin sidang pelanggaran Kode Etik oleh Ketua dan Anggota Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah di Jakarta, Sabtu (29/3).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie (kedua kanan) memimpin sidang pelanggaran Kode Etik oleh Ketua dan Anggota Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah di Jakarta, Sabtu (29/3).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie mengatakan, penerapan presidential threshold dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2019 dapat berpotensi merusak tatanan pluralitas bangsa. Karena, presidential threshold akan membatasi partai politik dan gabungan yang ingin mengusung calon presiden.

"Dengan adanya sistem pemilihan serentak presidential threshold itu enggak perlu lagi, semua partai yang punya hak untuk menjadi peserta pemilu otomatis dia punya hak, bahwa dia gak pakai haknya itu soal lain, intinya kita gak usah terlalu takut juga akan terlalu banyak calon presiden," ujar Jimly ketika ditemui di Kantor Wakil Presiden, Rabu (31/5).

Jimly menegaskan, idealnya dalam pilpres tidak usah memakai threshold karena dapat merusak tatanan pluralitas kebangsaan. Apabila ingin tetap menggunakan treshold, maka targetnya jangan terlalu tinggi.

Jimly menjelaskan agar tidak perlu khawatir apabila pada 2019 nanti akan kebanjiran figur calon presiden. Menurutnya, hal tersebut sah-sah saja karena justru berdampak baik bagi keterwakilan setiap kelompok masyarakat dalam pilpres.

"Jadi ronde (putaran) pertama misalnya ada 10 (capres), enggak apa-apa biar rakyat punya pilihan. Pluralitas bangsa kita itu harus diberi channel, saluran. Toh nanti ronde kedua cuma dua (pasangan yang lolos)," kata Jimly.

Menurut Jimly, threshold tersebut juga bertentangan dengan konsep ideal dua putaran yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, apabila diterapkan maka dapat berpotensi inkonstitusional.

"Tapi kalau thresholdnya itu gak terlalu tinggi, tetap memungkinkan pluratitas calon, itu tidak menganggu konstitusional, itu masuk dalam soal political choice," ujar Jimly.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement