REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi menginformasikan bahwa Miryam S Haryani akan segera disidang dalam perkara memberikan keterangan yang tidak benar pada persidangan tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik.
"Penyidik hari ini telah melimpahkan berkas, barang bukti, dan tersangka Miryam S Haryani (MSH) ke penuntut umum atau pelimpahan tahap dua dalam perkara memberikan keterangan yang tidak benar pada persidangan tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu (21/6).
Febri menyatakan dalam waktu dekat berkas perkara Miryam akan didaftarkan ke Pengadilan untuk mendapatkan jadwal persidangan lebih lanjut.
"Hal ini menegaskan bahwa proses hukum terhadap Miryam sedang berjalan dan bukti-bukti akan dibuka di persidangan," kata Febri.
Oleh karena itu, menurut dia, segala sesuatu terkait materi perkara ini baik terkait tindakan indikasi mengubah keterangan dan ada atau tidaknya tekanan dari pihak lain terhadap Miryam merupakan bagian tidak terpisahkan dari kasus ini sehingga hanya dapat dibuka di persidangan.
"Termasuk juga bukti rekaman pemeriksaan Miryam saat menjadi saksi di kasus KTP-e," ucap Febri.
Miryam disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Loade M Syarif menyatakan pihaknya tidak bermaksud untuk melecehkan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI karena menolak menghadirkan Miryam S Haryani dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket.
"KPK tidak pernah bermaksud untuk melecehan lembaga DPR yang terhormat, KPK hanya mengutip beberapa pasal di Undang-Undang MD3 dan Undang-Undang KPK," kata Syarif di Jakarta, Selasa (20/6).
Selain itu, kata dia, KPK mengingatkan bahwa tindakan memanggil tersangka atau tahanan yang sedang diperiksa KPK dapat diartikan "obstruction of justice".
"Karena proses hukum tidak boleh dicampuradukkan dengan proses politik yang proses dan substansinya dinilai oleh mayoritas pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara sebagai cacat hukum," ucap Syarif.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP elektronik.
Pada sidang dugaan korupsi KTP elektronik pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.
Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa Novel.