REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Australia tampaknya harus mencari alternatif lain bagi para pengungsi asal Tamil (Sri Lanka) yang saat ini berada di Nauru dan Manus Island. Pasalnya, mereka tidak akan diterima oleh Amerika Serikat setelah adanya perubahan UU Patriot di negara itu.
Saat ini ada 240 warga Tamil di Nauru dan Manus Island, dimana AS sebelumnya sudah sepakat untuk menerima sekitar 1.250 pengungsi dari kedua pusat detensi imigrasi tersebut.
Awal tahun ini, Presiden AS Donald Trump menggambarkan persetujuan itu sebagai 'perjanjian konyol'. Dia mengatakan pemerintahannya menghormati keputusan pemerintah sebelumnya karena ingin menjaga hubungan baik dengan Australia dengan syarat para pengungsi itu lolos pemeriksaan keamanan yang ketat.
Namun UU Patriot di Amerika Serikat yang diloloskan setelah peristiwa 11 September 2001, akan menyebabkan sebagian besar pengungsi Tamil ini tidak memenuhi syarat.
Ini disebabkan karena setelah pemberontak Macam Tamil dikalahkan oleh pemerintah Sri Lanka, para pengungsi ini akan digolongkan dengan mereka yang memberikan 'dukungan material' kepada kelompok teror.
Kathy Newland, salah seorang pendiri Institute for Migration Policy di Washington DC menggambarkan dukungan material tersebut sebagai kategori yang 'terlalu luas'.
"Ini mencakup mulai dari uang, makanan, tempat berlindung, apa saja, pelatihan kepada seseorang yang memiliki hubungan dengan kelompok teroris," katanya.
Di rumah mereka di dekat Jaffa di bagian utara Sri Lanka yang mayoritas penduduknya Tamil, seorang ibu dan janda Mala (bukan nama sebenarnya) menunggu cemas guna mendengar kabar dari anaknya.
Putranya yang berusia 24 tahun sekarang berada di Nauru, setelah sebelumnya berusaha mencapai Australia lima tahun lalu.
Dia berusaha pergi ke Australia untuk mencari perlindungan bagi adiknya, seorang kader gerakan Pembebasan Tamil Elam (LTTE) yang mengalami cedera di hari-hari terakhir pertempuran.
Keluarga itu mengatakan mereka tidak mendapat bantuan di Sri Lanka.
Ibu ini sekarang khawatir dengan apa yang mungkin terjadi pada anaknya bila dia dipulangkan kembali ke Sri Lanka. "Bila dia dideportasi ke Sri Lanka, saya tidak tahu apa yang akan terjadi," katanya.
"Warga desa mengatakan mereka yang dipulangkan ke sini kemudian ditangkap dan ditahan."
Minggu lalu, PBB mengukuhkan kekhawatiran yang dirasakan sang ibu.
Ben Emmerson, pelapor khusus PBB dalam masalah dampak kontra terorisme terhadap HAM mengatakan bahwa komunitas Tamil 'menjadi korban penyiksaan aparatur negara' yang terus berlangsung sampai sekarang. "Siapa saja yang dikaitkan LTTE beresiko ditahan dan disiksa," kata Emmerson.
Utusan tersebut mengatakan dalam pertemuannya dengan tahanan yang ditahan karena UU anti terorisme mengungkapkan adanya perlakuan buruk yang terus berlanjut.
"Saya banyak mendengar cerita mengenai penyiksaan yang sangat brutal," katanya dalam jumpa pers di ibukota Sri Lanka, Colombo, hari Jumat pekan lalu.
Emmerson mengatakan metode penyiksaan yang dilakukan diantaranya 'dipukul dengan tongkat, penggunaan posisi yang menyakitkan, disekap dengan kantong plastik berisi minyak tanah, pencabutan kuku, jari ditusuk dengan jarum, penggunaan penyiksaan menggunakan air, dan pemotongan alat kelamin'.
'Saya dipukul ketika ditahan'
ABC kemarin berbicara dengan seorang warga Tamil yang dideportasi kembali ke Sri Lanka, yang tidak mau disebut namanya. Dia mengatakan mendapat perlakuan buruk dari aparat.
Setelah dikembalikan dari Eropa April, pria ini mengatakan polisi menahannya dan selama dua minggu dipenjara dia dpukuli, dan dirampok, karena teman-temannya dicurigai memiliki hubungan dengan Harimau Tamil.
"Saya ditahan setelah dideportasi," katanya. "Saya dipukuli selama penahanan, mereka memukul menggunakan sepatu dan tongkat, dan luka-luka itu meninggalkan bekas."
Tuduhan-tuduhan baru yang muncul ini menimbulkan pertanyaan terhadap jaminan yang diberikan oleh pemerintah Sri Lanka bahwa mereka yang dikembalikan tidak akan diperlakukan buruk.
Menurut Konvensi Pengungsi, negara penerima tidak diijinkan mengembalikan seseorang yang mungkin akan menghadapi bahaya. Australia juga sebelumnya mendapat jaminan dari Sri Lanka bahwa mereka yang dikembalikan tidak akan diperlakukan buruk.
Namun tuduhan-tuduhan baru tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai jaminan tersebut dan juga alternatif apa yang dimiliki oleh Australia terhadap pengungsi yang ada di sini. "Kami terus bekerjasama dengan Nauru dan Papua Nugini untuk mencari negara ketiga bagi mereka, dan bila tidak, mereka punya opsi untuk menetap di PNG," kata Menlu Australia Julie Bishop, Rabu (19/7).
Bishop berada di Colombo untuk berbicara dengan pejabat Sri Lanka, dan Australia akan mendesak negara tersebut untuk menghormati komitmen HAM yang sudah disampaikan sebelumnya.
Diterjemahkan pukul 14:10 AEST 20/7/2017 oleh Sastra Wijaya. Simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini