REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, putusan praperadilan Setya Novanto pada Jumat (29/9) lalu tidak ada implikasinya terhadap kasus-kasus lain. Putusan praperadilan bergantung kepada moral para hakim.
"Tidak ada (dampak), tergantung mental dan moral hakimnya, " tegasnya ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (1/30).
Abdul sebelumnya menyatakan jika Komisi Yudisial (KY) perlu mencermati putusan hakim Cepi Iskandar dalam praperadilan Setya Novanto atas kasus pengadaan KTP-el. KY diminta memeriksa apakah putusan hakim Cepi mengabulkan praperadilan Novanto disebabkan oleh ketidakcermatan atau ada hal lain.
Abdul mengingatkan sejumlah kondisi di mana praperadilan umumnya dimenangkan oleh individu yang memiliki 'sumber daya melimpah'. Dia mencontohkan praperadilan Budi Gunawan pada 2015, praperadilan Ketua BPK Hadi Purnomo dan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
"Jadi tetap lebih kepada moral hakimnya," katanya.
Sebelumnya, pada Jumat, Hakim Sidang Praperadilan Setya Novanto, Cepi Iskandar, memutus penetapan tersangka oleh KPK kepada Ketua Umum Golkar dalam kasus pengadaan KTP-el itu tidak sah. Hakim pun memerintahkan KPK untuk menghentikan penyidikan terhadap Novanto berdasarkan Sprindik tertanggal 17 Juli 2017.
Terpisah, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, mengungkapkan pihaknya sedang merinci lebih jauh mengenai adanya kejanggalan dalam putusan praperadilan pada Jumat. Pihaknya pun masih mempertimbangkan jika ada anggapan kecurigaan kepada hakim praperadilan.
Febri mencontohkan, jika bukti permulaan dianggap tidak cukup, maka hal itu tidak benar. Bukti-bukti yang dimaksud oleh hakim sudah disampaikan pada saat praperadilan.
"Bahkan kami memiliki bukti yang lebih banyak dibanding yang disampaikan di praperadilan kemarin. Apakah itu kemudian dipandang tidak cukup oleh hakim pra peradilan itu tentu salah satu poin yg kita cermati lebih lanjut dalam proses analisis berikutnya," jelas Febri kepada wartawan di Jakarta, Jumat lalu.