Rabu 25 Oct 2017 20:17 WIB

Ini 7 Alasan UU Ormas Layak Digugat Menurut Komnas HAM

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bayu Hermawan
Anggota Komnas HAM Maneger Nasution.
Foto: Republika/Musiron
Anggota Komnas HAM Maneger Nasution.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution menyebutkan, setidaknya ada tujuh alasan mengapa Undang-undang (UU) Ormas layak untuk digugat. Beberapa di antaranya disebabkan karena argumen-argumen yang muncul untuk membuat UU tersebut.

"Alasan pertama, (terkait) argumen prosedur. Kelahiran Perppu itu tidak memenuhi kaidah kepentingan yang memaksa. Presiden Jokowi sebagai kepala negara belum pernah mendeklarasikan negara dalam keadaan darurat, baik itu darurat perang, darurat militer, maupun darurat sipil," kata Maneger dalam keterangan tertulisnya, Rabu (25/10).

Berikutnya, Maneger menyebutkan, terkait dengan argumen kekosongan hukum. Argumen yang mengatakan terjadi kekosongan hukum atau hukum yang ada tidak memadai adalah mengada-ada. Menurutnya, UU No. 17/2003 tentang Ormas sebenarnya masih memadai untuk menjawab persoalan keormasan.

"Ketiga argumen kepastian hukum. Pandangan ini juga tidak memiliki basis argumen yang memadai. Justru sebaliknya, UU Ormas yang baru saja disahkan DPR RI itu semakin memberi kepastian hukum," jelasnya.

Selain karena argumen-argumen tadi, UU tersebut jgua ia anggap menghilangkan peran hakim atau pengadilan. Tidak seperti dalam UU No. 17/2013, pembubaran ormas harus melalui keputusan pengadilan setelah didahului peringatan-peringatan dan penghentian kegiatan.

Di UU Ormas teranyar ini, kata dia, mekanisme due process of law dihilangkan. Pemerintah berhak membubarkan ormas yang menurut versi subjektif pemerintah bertentangan dengan Pancasila.

"Kalau tidak puas, silakan ajukan ke pengadilan. Ibaratnya, 'gebuk' dulu baru bawa ke rumah sakit. Ini jelas melanggar asas praduga tak bersalah," kata Maneger.

Ia menyebutkan, alasan kelima adalah adanya pemidanaan yang berlebihan. Perppu Ormas No. 2/2017 itu mencantumkan sanksi pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 20 tahun.

Padahal, kata dia, di dalam UU Ormas yang lama, tidak ada aturan sanksi pidana. Di sana hanya ada sanksi administratif. Itulah yang menurutnya salah satu kelemahan UU Ormas yang baru.

"Cacat nalar kemanusiaan. Bagaimana mungkin UU yang karakternya UU administrasi negara pengaturan hak, tapi bercita rasa UU pemidanaan. Itu mengundung unsur pidana yang kejam," ujar dia.

Alasan selanjutnya, kata dia, UU tersebut berpotensi melahirkan rezim otoritarianisme. Salah satu kelemahan UU itu adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk secara subjektif memutuskan dan mengeksekusi ormas yang mereka sebut anti-Pancasila dalam satu tarikan napas.

Hal itu, kata Maneger, mengedepankan kekuasaan pemerintah atas kontrol terhadap hak-hak konstitusional warga negara. UU itu, menurutnya, tak hanya mengancam kelompok yang oleh pemerintah disebut radikal dan intoleran, tetapi juga kelompok kritis.

"UU ini dapat digunakan mengkrimanalisasi warga negara yang mengkritisi pemerintah dengan dalih 'anti' Pancasila. Ini mengancam masa depan demokrasi Pancasila. Indonesia berpotensi diantarkan ke pintu gerbang otoritarianisme," jelas dia.

Alasan ketujuh, menurut Maneger, terkait kepada kebebasan beragama. Menurutnya, salah satu hak konstitusional warga negara yang paling elementer adalah hak atas kebebasan beragama. UU ormas yang baru disetujui Selasa (24/10) itu, potensial digunakan oleh penguasa atas nama Pancasila untuk membatasi hak kebebasan beragama warga negara.

"Kontrol pemerintah yang berlebihan yang diberikan UU ini berpotensi menodai kesucian agama dan mencederai pengalaman keberagamaan warga negara," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement