REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menuturkan ada dua proses yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan persoalan Undang-undang nomor 2 tahun 2017 Ormas yang masih menuai polemik baik di parlemen ataupun di masyarakat. Dua cara ini masing-masing memiliki kekhasan tersendiri.
Yusril menuturkan, UU tersebut bisa digugat kembali ke MK oleh pihak-pihak yang kontra. Kedua, UU nomor tahun 2017 itu juga bisa direvisi melalui mekanisme di parlemen. Tentunya, revisi ini diajukan atas inisiatif Presiden ataupun DPR sendiri.
"Kalau di MK itu kan hanya bisa membatalkan. Tapi tidak bisa merumuskan yang baru. Kalau di DPR tidak bisa membatalkan, tapi bisa membikin yang baru. Tergantung apa maunya saja," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (25/10).
Kalau pihak-pihak yang sebelumnya merasa dirugikan Perppu Ormas tersebut ingin menggugat lagi, maka proses pengujiannya harus dari awal lagi dan objeknya adalah UU nomor 2 tahun 2017.
"Ya itu sih tergantung orang, kalau yang menguji merasa perlu melanjutkan itu dengan mengujinya ke MK, ya mereka dari awal lagi. Tapi bukan menguji Perppu tapi menguji Undang-undang," kata dia. (umar mukhtar)
Seperti diketahui, Hizbut Tahrir Indonesia salah satu ormas yang menggugat Perppu Ormas nomor 2 tahun 2017 sebelum sah menjadi UU pada Selasa (24/10) kemarin. Didampingi Yusril, HTI menggugat pasal 59 ayat (4) huruf c, pasal 61 ayat (3), pasal 62 ayat (1), pasal 80, pasal 82A ayat (1), (2), dan (3) pada Perppu Ormas nomor 2 tahun 2017.